Wednesday, July 11, 2018

Bagaimana Kabarmu?


Hei, Assalamu’alaikum. Bagaimana kabarmu?

**
Sudah lama kita tidak berbincang. Atau mungkin memang kita bukan dua orang yang sering berbincang. Yah, apapun itu, aku ingin bercerita saja. Sore ini aku duduk di sudut ruangan berdindingkan kaca. Aku berada di lantai paling atas; lantai ke-24. Dari sini, dapat kusaksikan langit ibu kota kita yang agak kelabu, entah mengapa. Mungkin karena kesibukan dan produktivitas manusianya yang di atas rata-rata, hingga pemandangan dari atas seperti tertutup kabut sedemikian rupa. Iya, kuharap itu kabut dan bukan polusi udara.

Kamu pernah berpikir, kenapa ya, dalam kehidupan kita yang berdampingan ini, dalam kehidupan setiap manusia yang kita tahu jumlahnya tak dapat dihitung jari ini, mengapa kita seringkali masih iri hati? mengapa kita menyimpan hasad-dengki? mengapa masih sulit bagi kita mensyukuri diri? padahal, kan, ada begitu banyak manusia di dunia ini, dan rasa-rasanya, kita akan selalu menemukan celah jika saja kita mau bersyukur atas kehidupan sendiri.

Ya, kan? apakah kamu berpikir hal yang sama?

Yah, bukan apa-apa sih. Aku hanya berkontemplasi; merenungi segala pahit-manis yang telah terjadi selama ini. Hei, iya, aku kan mau tanya, kamu apa kabar? ada kabar apa di kehidupanmu? bagaimana kabar tugas-tugas harianmu? adakah mereka terceklis utuh?

Belakangan, aku belajar banyak soal kehidupan. Bahwa ternyata dunia yang cuma main-main dan senda gurau belaka ini, ternyata menyimpan dinamika sedemikian rupa. Ternyata di usiaku yang memasuki dua puluhan ini, ada begitu banyak kearifan hidup yang aku masih buta terhadapnya. Ada banyak sekali kisah yang baru aku selami maknanya; sesuatu yang kukatakan pahit-manis kehidupan. Kapan-kapan aku juga mau mendengar (atau mungkin membaca) cerita pahit-manis milikmu. Kutunggu, ya.

Aku jadi ingat perkataan Ibu Neti, salah satu konselor yang pernah mengisi kelas kuliah kami. Beliau mengatakan bahwa hikmah terbesar menjadi seorang konselor adalah menjadi bijak. Iya, belajar dari kompleksitas hidup yang dialami oleh berbagai macam insan menjadikan dirinya melihat dengan sudut pandang yang lebih luas, menilai dengan lebih menyeluruh, menyaksikan segala sesuatu dengan lebih adil. Kegiatannya mendengarkan cerita dari orang lain tanpa disadari membantu pikir dan hatinya menjadi lebih bijak. Barangkali benar jika dikatakan bahwa pembeda antara kanak-kanak dan dewasa adalah soal kebijaksanaan. Bukankah memang begitu? sudah seharusnya orang dewasa berbeda dengan anak-anak yang bersifat egosentris. Bukan saatnya lagi bagi orang dewasa bersikap seperti anak-anak yang melihat segala sesuatu berputar dengan diri mereka sebagai porosnya.

Aku sudah lama tidak bercerita. Jadi maaf kalau agak banyak menulisnya. Kalau tidak mau baca, silakan berhenti saja. (Ya kalau tidak mau baca, sejak tadi kamu harusnya juga tidak memulai, kan, hhe).

Dalam perjalananku hingga hari ini, aku bersyukur sebab dipertemukan dengan orang-orang luar biasa. Entah, kadang aku tak habis pikir dengan diri sendiri, bagaimana mungkin aku tidak termotivasi menyaksikan orang-orang di sekelilingku yang sehebat itu? mungkin juga termasuk kamu. Artinya, jika aku tidak menghebatkan diriku juga, tidakkah bisa dikata bahwa aku kufur nikmat?

Hei, tunggu. Kamu juga mengerti kan, maksudku hebat disini adalah, bicara soal kesungguh-sungguhan. Aku selalu jatuh cinta melihat manusia dengan segala perjuangannya. Aku suka menyaksikan manusia yang bersungguh-sungguh dalam melakukan apa yang ia yakini kebaikan dan kebenarannya. Aku selalu kagum pada mereka yang bisa fokus pada satu hal, dengan tetap mengindahkan kehidupan kanan-kirinya. Dan betapa baiknya Dia, hingga menghadirkan orang-orang seperti itu dalam kehidupanku. Maka aku katakan, bukankah aku kufur nikmat, jika aku tak menyerap energi mereka? atau energimu, mungkin saja?

Aku mengenal seseorang yang telah melamar kerja hingga puluhan. Bukan untuk apa-apa, melainkan untuk kepentingan keluarga dan kehalalan rezeki yang ia terima. Aku mengenal seseorang yang berjuang naik-turun, mengarungi jalan-jalan, mengarungi himpitan waktu, demi kepentingan adik-adik sebab ia anak pertama. Aku juga bertukar cerita dengan seseorang yang meski begitu pahit apa yang ia alami di keluarga, namun senyumnya pada tetangga selalu saja merekah. Ada juga mereka yang berjuang dalam diam, dalam harap, dalam cemas, tapi tetap dengan prasangka baik pada Tuhannya. Ah, kalau mengingat itu, seketika aku merasa seperti remah-remah entah makanan apa.

Jauh dari itu semua, yang membuatku paling merasa hanya jadi butiran debu adalah jika mengingat kedua orang tua. Yah, membahas keduanya selalu sulit bagiku, jujur saja. Karena terlalu spesial, seringnya sulit mengungkapkan dengan kata-kata. Tuh kan, begini saja aku sudah diam. (Iya, saat menulis bagian ini lama sekali jemariku berhenti. Padahal paragraf-paragraf sebelum bagian ini, rasanya kutulis tanpa jeda. Sekarang jadi hening.) Kapan-kapan saja ya, aku bercerita soal ini. Atau jika memungkinkan, barangkali lebih baik kita bertemu saja. Siapa tahu kamu berbaik hati penasaran kan, mau mendengar ceritanya.

Sudah lama kita tidak berbincang. Atau mungkin memang kita bukan dua orang yang sering berbincang. Kita bisa saja saling kenal atau tidak saling kenal. Mungkin saja kita saling tahu tapi tak pernah kita bertukar sapa. Mungkin saja kamu tanpa sengaja menemukan laman ini dan membaca barisan kata-kata. Tapi tak apa, itu bukan poin pentingnya. Paling tidak setelah membaca ini, aku ingin mengajakmu sama-sama berdiskusi. Minimal dengan kepala kita sendiri-sendiri.

Kamu apa kabar? ada kabar apa di kehidupanmu? apa yang sedang menyita pikirmu? apa pencapaian yang tengah ingin diraihmu? kesulitan-kesulitan apa yang tengah menghadang episodemu?

Apapun itu, semoga kamu baik-baik saja, tidak kekurangan sesuatu apapun. Semoga keberimanan selalu hadir pada hatimu. Semoga keridhoan tak sungkan-sungkan menetap pada kalbumu. Semoga niat baik selalu berada pada benakmu. Apapun yang tengah kamu hadapi, bersyukurlah. Sebab Tuhan kita dalam firman-Nya mengatakan,

Semoga kamu baik-baik saja :) wassalamu'alaikum.


Jakarta, 27 Syawal 1439 H
Dari lantai ke-24 pada sore hari ibu kota.

Yang menanyakan kabarmu,
aku.

No comments:

Post a Comment