Wednesday, November 1, 2017

Air Mail #10

Kata-kata selalu memiliki ruang. Ia bisa bicara. Ia bisa merasa. Ia bisa menerka. Aster yang baik, terima kasih telah mengajarkan padaku akan satu pemaknaan itu.

AIR MAIL

Jangan pernah memutuskan untuk pergi dengan alasan bahwa diri kita bukan siapa-siapa dan tidak berarti. Paling tidak, jika memang harus pergi, pergilah dengan alasan yang lebih bijak.

Bukan, itu bukan perkataanku, Aster. Itu adalah nasihat dari Nyonya Val. Kalau kamu ingat, sebenarnya Tuan Erdas juga pernah mengatakan hal yang sama. Hanya saja. usia kita—usiamu lebih tepatnya—dahulu mungkin masih terlalu dini untuk memahami seutuhnya apa makna dibalik nasihat hebat itu. Entah apakah kau masih ingat atau tidak.

***

“Rwazweeen!!!” kau meneriakiku dengan mulut penuh roti. Tangan kananmu berkacak pinggang. Aku tertawa.

“Makan yang benar! habiskan dulu!” aku balas teriakanmu dari jarak lima meter. Kau terkekeh. Nyaris tersedak.

“Ibwukhu... kahau diphanggil ibwukhu!!” mendengar kalimat itu, aku bangun dari duduk. Memberi isyarat tanya; apakah kamu sungguh serius? kau lantas mengangguk. Aku bersegera menuju rumahmu yang berpagarkan kayu.

Bagiku saat itu, tidak ada yang lebih menyenangkan dari dipanggil oleh seorang ibu.

***

Lambat laun aku belajar bahwa seringkali manusia terjebak dalam akal pikirannya sendiri. Padahal akalnya juga lah yang menyetujui bahwa ada begitu banyak soalan hidup yang berada di luar nalar-logika. Entah sejak kapan, aku jadi semakin banyak berpikir. Mungkin sejak mengenalmu. Atau sejak ditinggalkan olehmu. Bisa jadi, kan?

Kadang-kadang, aku tidak bisa membaca jalan pikiranmu. Aku juga tidak mengerti bagaimana menerjemahkan bahasamu. Bukan karena logat bahasa lokalmu yang entah mengapa terdengar aneh, melainkan karena mungkin aku hanya miskin rasa pada beberapa aspek yang telah kau alami. Seperti rasamu tentang ibu, misalnya.

Kau mengatakan bahwa ibumu adalah manusia yang dapat menyengatmu dengan listrik hanya dengan sentuhan jemarinya. Aku paham itu bukan makna denotasi, tapi saat itu aku sama sekali tidak mengerti maksudmu. “Razen, percayalah, ibuku punya kekuatan super. Dia bisa menyetrum ujung kepalamu dengan jemarinya. Ibu benar-benar bukan manusia biasa!” saat itu aku hanya tersenyum kecut mendengar perkataanmu. Kau memang aneh.

***

Kau terlalu sering bercerita tentang orang tuamu, Aster. Seolah-olah kau tidak tahu bahwa aku merindukan sosok orang tua. Dahulu mungkin aku lebih sering cemburu. Namun belakangan, aku menyadari, bahwa darimana lagi jika bukan dari cerita-ceritamu, aku dapat sedikit banyak memahami tentang hubungan seorang anak dengan orang tuanya? aku ingat saat itu, ketika kau mengabarkan bahwa ibumu memanggil, lantas menanyakan satu pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab pada potongan episode masa kecilku.

“Razen,” ujar ibumu sambil membelai kepalaku, “maukah kamu tinggal disini bersama kami?”

Aku terkesiap. Pertanyaan itu diam-diam mengganggu puluh hari milikku berikutnya di panti.

***

Aster, hari ini aku semakin mengerti maksudmu. Jemari seorang ibu yang tulus sungguh-sungguh dapat menyengat. Benar katamu. Seperti listrik.


Ditulis ketika hujan menyapa bumi lagi,
pada Muharram 1439 H.


Razen

No comments:

Post a Comment