Kata-kata selalu memiliki ruang.
Ia bisa bicara. Ia bisa merasa. Ia bisa menerka. Aster yang baik, terima kasih
telah mengajarkan padaku akan satu pemaknaan itu.
AIR
MAIL
Jangan
pernah memutuskan untuk pergi dengan alasan bahwa diri kita bukan siapa-siapa dan
tidak berarti. Paling tidak, jika memang harus pergi, pergilah dengan alasan
yang lebih bijak.
Bukan, itu bukan perkataanku,
Aster. Itu adalah nasihat dari Nyonya Val. Kalau kamu ingat, sebenarnya Tuan
Erdas juga pernah mengatakan hal yang sama. Hanya saja. usia kita—usiamu lebih
tepatnya—dahulu mungkin masih terlalu dini untuk memahami seutuhnya apa makna
dibalik nasihat hebat itu. Entah apakah kau masih ingat atau tidak.
***
“Rwazweeen!!!” kau meneriakiku
dengan mulut penuh roti. Tangan kananmu berkacak pinggang. Aku tertawa.
“Makan yang benar! habiskan
dulu!” aku balas teriakanmu dari jarak lima meter. Kau terkekeh. Nyaris
tersedak.
“Ibwukhu... kahau diphanggil
ibwukhu!!” mendengar kalimat itu, aku bangun dari duduk. Memberi isyarat tanya;
apakah kamu sungguh serius? kau
lantas mengangguk. Aku bersegera menuju rumahmu yang berpagarkan kayu.
Bagiku saat itu, tidak ada yang
lebih menyenangkan dari dipanggil oleh seorang ibu.
***
Lambat laun aku belajar bahwa
seringkali manusia terjebak dalam akal pikirannya sendiri. Padahal akalnya juga
lah yang menyetujui bahwa ada begitu banyak soalan hidup yang berada di luar
nalar-logika. Entah sejak kapan, aku jadi semakin banyak berpikir. Mungkin
sejak mengenalmu. Atau sejak ditinggalkan olehmu. Bisa jadi, kan?
Kadang-kadang, aku tidak bisa
membaca jalan pikiranmu. Aku juga tidak mengerti bagaimana menerjemahkan
bahasamu. Bukan karena logat bahasa lokalmu yang entah mengapa terdengar aneh,
melainkan karena mungkin aku hanya miskin rasa pada beberapa aspek yang telah kau
alami. Seperti rasamu tentang ibu, misalnya.
Kau mengatakan bahwa ibumu adalah
manusia yang dapat menyengatmu dengan listrik hanya dengan sentuhan jemarinya.
Aku paham itu bukan makna denotasi, tapi saat itu aku sama sekali tidak
mengerti maksudmu. “Razen, percayalah, ibuku punya kekuatan super. Dia bisa
menyetrum ujung kepalamu dengan jemarinya. Ibu benar-benar bukan manusia
biasa!” saat itu aku hanya tersenyum kecut mendengar perkataanmu. Kau memang
aneh.
***
Kau terlalu sering bercerita
tentang orang tuamu, Aster. Seolah-olah kau tidak tahu bahwa aku merindukan
sosok orang tua. Dahulu mungkin aku lebih sering cemburu. Namun belakangan, aku
menyadari, bahwa darimana lagi jika bukan dari cerita-ceritamu, aku dapat
sedikit banyak memahami tentang hubungan seorang anak dengan orang tuanya? aku
ingat saat itu, ketika kau mengabarkan bahwa ibumu memanggil, lantas menanyakan
satu pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab pada potongan episode masa
kecilku.
“Razen,” ujar ibumu sambil
membelai kepalaku, “maukah kamu tinggal disini bersama kami?”
Aku terkesiap. Pertanyaan itu diam-diam mengganggu puluh hari milikku berikutnya di panti.
***
Aster, hari ini aku semakin
mengerti maksudmu. Jemari seorang ibu yang tulus sungguh-sungguh dapat
menyengat. Benar katamu. Seperti listrik.
Ditulis ketika hujan
menyapa bumi lagi,
pada Muharram 1439 H.
Razen
No comments:
Post a Comment