Friday, June 5, 2015

Kuasar

"Ada banyak hal mengkhawatirkan akhir-akhir ini, Le." Mbah Mukhtar lagi-lagi memulai kalimat petuahnya.

"Apa lagi, Mbah?" aku menanggapi. Sedang tidak terlalu tertarik membicarakan hal-hal berat.

"Jaman sekarang ini ndak seperti jamanku dulu." Beliau menghela nafas panjang. "Orang-orang sibuk menjadi baik agar mendapat pandangan baik dari orang lain. Tidak tulus dari sini." Mbah Mukhtar menunjuk dadanya sendiri. Aku memicingkan mata. Mungkin aku mulai tertarik.

"Mbah tau darimana soal ketulusan seseorang?" ujarku seraya mengambil sepotong singkong goreng yag masih mengepul di hadapan kami.

"Haha, dasar. Makin pintar saja Kau ini, Le." Mbah Mukhtar tertawa. Kedua matanya menyipit. Aku melahap singkong goreng di tanganku. Tidak berkomentar.

"Aku ini cuma khawatir. Banyak kebaikan yang dikomersialkan, diperdagangkan. Orang jadi berlomba-lomba dalam kebaikan supaya dikenal baik."

"Mungkin itu untuk menandingi keburukan yang juga banyak dibicarakan, Mbah? bukannya lebih baik kita ngomongin kebaikan?"

"Itulah tantangannya, Le. Mbah khawatir lama-kelamaan akan jadi bumerang. Lha niatnya mau begitu tapi pas praktik malah ngelenceng, gitu loh." mendengarnya, aku manggut-manggut. Benar juga kata Mbah Mukhtar. Memang kemajuan teknologi sekarang sangat mempermudah orang-orang untuk berbagi apapun.

"Benar tho?" Lelaki yang sudah tidak bisa dikatakan muda itu menodongku dengan singkong goreng.

"Iya, benar Mbah. Terus lebih baik gimana, Mbah?"

"Yaa, Mbahmu ini juga ndak tahu, Le. Kamu ini lebih pintar. Pendidikanmu tinggi. Yo masak tidak bisa menyimpulkan? Haha" rambutku diacak-acak Mbah Mukhtar. Seperti biasa.

"Menjadi Kuasar." Jawabku singkat. Mbah Mukhtar membelalakkan matanya.

"Apa itu Kuasar?"

"Benda di antariksa, Mbah. Di jagad raya kita. Jaraknya jauh sekali, ukurannya sangat kecil, kalau dilihat dari bumi."

"Lantas apa bagusnya?"

"Kuasar memang kecil kalau dilihat dari sini. Bahkan masih terlihat kecil seperti bintang, walaupun dilihat pakai teleskop terbesar sekalipun. Tapi cahayanya cemerlang. Dan ukuran sebenarnya lebih besar dari bintang maupun planet. Ia melepaskan energi lebih besar ribuan kali lipat dibandingkan energi yang dilepas galaksi Bimasakti tempat kita tinggal sekarang." Lalu hening sejenak. Kami berdua asyik menikmati singkong goreng. Tak lama, Mbah Mukhtar kembali berujar.

"Benar, Le. Kadang-kadang kita memang harus beralih dari Sirius." Aku memandang Mbah Mukhtar takjub demi mendengar tanggapannya barusan.

"Mbah tahu Sirius?"

"Bintang malam yang paling terang, bukan?" jawabnya sambil terkekeh. Aku tertawa. Tidak pernah sebangga ini pada seseorang kecuali pada Mbah Mukhtar.

Pada akhirnya yang semu akan berakhir semu. Yang tampak tidak selamanya nyata. Tapi kebaikan hakiki dari lubuk hati, akan tercatat abadi. Tuhan tidak pernah mensyaratkan apa-apa bagi kita yang ingin berbagi. Tidak harus jadi pandai, terkenal, kaya, apalagi punya jabatan tinggi. Berbuat baik saja tanpa henti. Biar harumnya menyeruak sendiri. Tidak perlu kita ingat-ingat, terlebih diungkit-ungkit. Kalaupun oranglain tidak peduli, untuk apa pula kita harus peduli akan ketidak-pedulian oranglain?

Seperti Kuasar yang tidak semasyhur Sirius.

Seperti Kuasar yang kecil terlihat dari bumi, tapi diam-diam menebarkan energi berkali-kali lipat -melampaui Bimasakti.

No comments:

Post a Comment