Beruntung adalah para perengguk
yang tidak perlu hidup. Tidak perlu
sibuk menyibukkan diri. Tidak perlu mengenal hari. Itu kata para tetua, yang
bukan tanda menyesal mecengkoki penerusnya dengan hal demikian, melainkan
mengumbar fakta apa adanya. Yang paling sial adalah mati tua. Itu kata mereka,
yang telah dipaksa sudi merasakan pahitnya dunia. Yang dipaksa menanti,
bermimpi cakrawala syurga tiada tara.
Mereka bilang pertanyaan retoris
itu eksis di peradabannya. Kubilang definisi semacam ini lebih retoris lagi di
benak manusia. Berkali lipat, mereka yang mengaku pemikir setia sibuk memberi
artian makna pada soal perihal hidup dan segala turunannya. Pada definisi
kata-kata abstrak yang siapa pula sudi mengartikan? Karena jawabnya tidak
pernah jadi jelas sejelas kacang kedelai hitam dalam gelas kaca.
Bagi kaum miskin penafsiran,
hidup adalah menghabiskan satuan waktu pemberian Raja di Maha Raja. Mungkin ada
pilihan-pilihan monumental yang hadir sejenak sedekat pelemparan batu. Sehasta.
Sesampainya pada titik tepat. Tapi ibarat bunglon yang memiliki beribu cadang
topeng pemalsu identitas, pilihan seringkali hanya jadi pencitraan tanpa
karakter yang dipaksa meninggikan gerak embun pagi pada sang tangkai bunga.
Prihatin, hidup yang diagungkan penuh bias temaram hanya tinggal debu yang
menunggu tertiup.
Bagi kaum yang terlalu miskin
untuk melepaskan terompah, hidup jadi semarak diraba. Tapi eksistensinya
dipertanyakan. Memasuki dunia maya lagi melintang. Tidak terlacak. Semerbak
dirayakan hanya dalam sekejap saja, kemudian terlupakan dan berbalik arah. Semesta
jadi ilusi fana lagi nyata. Seorang diri dalam kancah tempur, seperti buih
lautan yang melaju tanpa kawan. Seorang, kemudian terhempas dan hilang. Tidak
pernah terdokumentasi bahkan dalam benak satuan pencari harga. Mendongak sukarela,
menunduk tergelincir kuasa.
Bagi pemiskin sejati yang tiada
sedetakpun nuraninya berontak akan kemiskinan, yang rumpun kepalanya memahami
penafsiran kehidupan, hidup adalah karena adikuasa. Segalanya menapak pada
sebaris catatan sederhana dalam ukiran sejarah sakral. Jemarinya berlabuh pada
imaji danau riak gegap gempita. Maka
kebersamaan hanya jadi jembatan untuk mempertajam gambar dalam benak cerita
cita keagungan langit yang mendunia. Awal-akhirnya menjadi jelas bagi mereka. Asanya
digenggam energi Maha Dahsyat yang mengendalikan raga, dibalut rahasia. Mutiara
mata menjadi candu pada gelap-jingga membahana.
Maka ketika nestapa-derita
disandingkan dengan bahagia-merdeka, tidaklah menjadi persoalan genting lagi
mendesak bagi penafsir yang paham akan keindahan. Lantas ketika serdadu tiada
mampu melawan gertakan, atau pasukan terperosok ke dalam jurang, siapa jamin
itu nestapa-derita atau bahagia-merdeka? Bagi penafsir yang paham akan hakikat
kesempurnaan, pahit-manis adalah kolaborasi indah-sempurna yang menawan jiwa.
Karena bagi para pecinta tiada dua, bukan getir bibir yang merusak, melainkan
getar riak frekuensi senada yang melembutkan sukma.
Maka beruntunglah para perengguk
yang tidak perlu hidup. Tidak perlu
sibuk menyibukkan diri. Tidak perlu mengenal hari. Itu kata para tetua. Namun
apakah benar ada nyatanya? Demikian pertanyaan yang memang sejati diterka. Namun beruntung di atas
beruntung, adalah catatan ini bagi mereka, Janji suci, kabar gembira dari Sang Adidaya bagi
para perengguk yang mengidamkan cakrawala syurga tiada tara.
“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu’min lelaki dan
perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; Itu adalah keberuntungan yang besar.”.
(QS. At-Taubah : 72)
Bogor, Syawwal 1435 H