Langkahku tergesa. Dua kali lebih cepat dari biasanya. Seakan lupa dengan jerit kaki yang sejak tadi mengadu minta diistirahatkan. "Udaah, tadi kan udah istirahat pas dibawa shalat," Bisikku pada si kaki. Sesekali ia melawan. Minta dimaklumi kelemahannya yang seharian dibawa kemana-mana, menopang tubuh. Aku tersenyum kecut. Ini sama sekali belum seberapa, Ki. Jangan bikin aku malu dengan tingkah cemenmu. Ia seketika bungkam kupelototi.
Sore usai selesai bertugas, usai numpang shalat ashar di lantai tiga asrama, aku membulatkan tekad untuk pulang ke Jakarta. masih ber-SOP kuliah, masih mengenakan almamater, lantas melaju menuju terminal. Entahlah, tapi sore itu tidak seperti pulang kampung biasanya. Angkot yang aku tumpangi melaju cepat sekali. Cepat, dan cerdik. Cerdik, karena tahu-tahu macet Bogor tidak sungguh-sungguh menjadi kendala. Selain karena jalur yang tidak biasa, abang supir begitu lihai berkendara. Menembus batas batas kewajaran nan peraturan. Alih-alih macet di jalur kiri, angkot yang kutumpangi dengan santainya melawan arus di jalur kanan. Gesit. Meski sesekali diterpa klakson kendaraan-kendaraan yang juga tengah miliki tujuan, Disaat seperti itu, aku tak tahu mesti bahagia atau apa. Bersyukur, doaku yang meminta supaya perjalanan dipercepat rasanya semerta-merta dikabulkan. Tidak terjebak macet. Tapi di sisi lain, dahiku berkerut mendapati tingkah-pola yang dilakukan sama angkot itu; sama si abang supir.
Sepanjang perjalanan menuju terminal, aku kerap mengintip jam tanganpemberian seorang adik yang baru saja diservice. Memastikan waktu. HP-ku sudah sejak tadi mati. Janji untuk mengabari orangtua perihal kepulangan pun terpaksa tidak tertunaikan. Satu jam lima belas menit. Mungkin itu rekor hebat untuk perjalanan macet sore hari dari Dramaga ke Baranang Siang di kota Bogor. Adalah sebuah kebahagiaan, ketika pada akhirnya sosok itu tertangkap mata. Bis besar warna merah bertuliskan Bogor - Lebak Bulus. Agra Mas. Aku mengamati sejenak. Diam-diam tersenyum, lantas menghampiri abang tukang roti bakar yang biasa ngetem di sisi kanan-depan Agra Mas. Roti bakar di agra petang selalu saja menyenangkan. :)
Pintu Agra tepat akan ditutup ketika aku melangkahkan kaki. Tidak terlalu penuh, aku berjalan menuju deret barisan ke lima bagian dua kursi. Bersegera menghempaskan tubuh. Duduk. Menarik nafas lega. Seperti biasa, aku akan terdiam beberapa menit memandangi ramai terminal dari jendela, meletakkan tas di sisi kanan, bersandar pada bangku bis. Bertasbih. Tahu-tahu jadi ingin menertawakan diri sendiri. Apa-apaan ini, almamater bertuliskan Institut Pertanian Bogor masih melekat. Rasanya seperti mahasiswa yang kabur dari kampus. Agak tergesa, memang. Pasalnya, malam ini akan menjadi malam pertama untuk shalat tarawih Ramadhan. Kembali kulirik jam. Pukul lima. Semoga keburu.
Aku berusaha meluruskan kaki. Melepas sepatu. Meregangkan otot. Kemudian mulai menikmati roti bakar yang masih hangat. Agra mulai melaju, beranjak meninggalkan kota Bogor -kota hujan. Baru ingat tentang diri yang rupanya (hampir) belum makan sejak pagi. Jatah konsumsi panitia masih bertengger di dalam tas. Ternyata, roti bakar ditambah nasi bungkus sama sekali tidak buruk dalam kondisi demikian. Seperti makan tiga kali porsi normal dalam satu waktu. Hha. Meski pada akhirnya, bagian roti bakar terpaksa kubungkus kembali separuhnya. Merasa terlalu penuh untuk disantap saat itu juga.
Seperti biasa, perjalanan pulang ke Jakarta ketika naik Agra selalu saja membuatku takjub. Sendirian di dalam bis tanpa kenal siapa pun menjadi daya tarik tersendiri. Bebas melihat jalanan tanpa perlu merasa tak enak hati pada kawan satu bangku -karena memang duduk sendirian-. Bebas mengeluarkan buku catatan, mulai menulis tanpa ditanya untuk apa, buku apa, atau kenapa maksa nulis di bis? yak, HP mati. Meski akhirnya tulisan lebih terlihat seperti untaian benang yang terputus-putus akibat gejolak perjalanan, hhe, tapi bagiku ada kepuasan tersendiri. Lagipula, toh siapa juga yang tertarik membaca coret-coretan iseng di dalam bis? maka biar saja tulisannya tidak terbaca~
Perjalalan pulangku kali ini ditemani tayangan TV bis. Bisa ditebak, pembahasan yang takkan berhenti minimal sampai satu minggu kedepan, soal calon pemimpin RI. Sore itu, operator Agra menampilkan dua channel TV, bergantian. Dua channel TV yang -rasanya- siapa pun tahu memiliki keberpihakan politik yang saling berlawanan. Aku menelan lidah. Bisa-bisanya, berita dengan tajuk serupa. Sama-sama survei soal elektabilitas calon presiden - wakil presiden, namun hasilnya benar-benar berbeda. Drastis, bertolak belakang. Sesuai dengan pihak yang masing-masing dukung. Jadi surveinya dilakukan kepada responden pendukung masing-masing, begitu? Ah, alangkah lucunya negeri ini. Dan bersyukurlah kita yang termasuk bagian dari kelucuannya. Ya, kita. Termasuk kamu, termasuk aku. Apapun, hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk bumi pertiwi. Kualihkan pandangan dari TV. Kembali menatap jalanan. Sedikit lagi waktu maghrib.
Azan TV berkumandang. Entah, tapi aku merasa ada energi besar yang datang. Energi positif. Kalau diibaratkan di film-film, tiba-tiba ada cahaya terang yang menyelimuti bumi, berpendar, bersinar, terang. Hangat. Ramadhan tiba! aku tersenyum otomatis. Nyengir. Inilah bulan, dimana musuh bebuyutan manusia ditahan untuk sementara. Inilah masanya, ketika produktivitas mesti dijunjung keras. Demi mendengar lantunan azan semakin syahdu berkumandang, aku melepaskan takbiratul ihram. Shalat maghrib. Ya, shalat maghrib di dalam bis Agra Mas yang tengah melaju, menuju Jakarta. Allahu Akbar.. Takbir itu, suaraku bergetar. Ada butiran yang terjatuh sejak kata pertama. Itu adalah perjalanan pulang Agra Mas yang paling emosional sejauh ini, kurasa. Marhaban Yaa Ramadhan. :')
Dan bagian yang sungguh menghibur hati adalah ketika tiba di rumah, mengucap salam, lantas disambut dengan senyuman ummi tersayang. "Alhamdulillah, anak mama sampe.. macet ya, Sayang?" lalu aku dipeluk, Sambutan hangat yang selalu mampu membuatku rindu. Aku melirik jam, sudah pukul tujuh dua puluh. Ketinggalan shalat isya berjamaah, tapi aku hadir tepat waktu sebelum shalat tarawih dimulai. Alhamdulillah. :)
Sepanjang perjalanan menuju terminal, aku kerap mengintip jam tangan
Pintu Agra tepat akan ditutup ketika aku melangkahkan kaki. Tidak terlalu penuh, aku berjalan menuju deret barisan ke lima bagian dua kursi. Bersegera menghempaskan tubuh. Duduk. Menarik nafas lega. Seperti biasa, aku akan terdiam beberapa menit memandangi ramai terminal dari jendela, meletakkan tas di sisi kanan, bersandar pada bangku bis. Bertasbih. Tahu-tahu jadi ingin menertawakan diri sendiri. Apa-apaan ini, almamater bertuliskan Institut Pertanian Bogor masih melekat. Rasanya seperti mahasiswa yang kabur dari kampus. Agak tergesa, memang. Pasalnya, malam ini akan menjadi malam pertama untuk shalat tarawih Ramadhan. Kembali kulirik jam. Pukul lima. Semoga keburu.
Aku berusaha meluruskan kaki. Melepas sepatu. Meregangkan otot. Kemudian mulai menikmati roti bakar yang masih hangat. Agra mulai melaju, beranjak meninggalkan kota Bogor -kota hujan. Baru ingat tentang diri yang rupanya (hampir) belum makan sejak pagi. Jatah konsumsi panitia masih bertengger di dalam tas. Ternyata, roti bakar ditambah nasi bungkus sama sekali tidak buruk dalam kondisi demikian. Seperti makan tiga kali porsi normal dalam satu waktu. Hha. Meski pada akhirnya, bagian roti bakar terpaksa kubungkus kembali separuhnya. Merasa terlalu penuh untuk disantap saat itu juga.
Seperti biasa, perjalanan pulang ke Jakarta ketika naik Agra selalu saja membuatku takjub. Sendirian di dalam bis tanpa kenal siapa pun menjadi daya tarik tersendiri. Bebas melihat jalanan tanpa perlu merasa tak enak hati pada kawan satu bangku -karena memang duduk sendirian-. Bebas mengeluarkan buku catatan, mulai menulis tanpa ditanya untuk apa, buku apa, atau kenapa maksa nulis di bis? yak, HP mati. Meski akhirnya tulisan lebih terlihat seperti untaian benang yang terputus-putus akibat gejolak perjalanan, hhe, tapi bagiku ada kepuasan tersendiri. Lagipula, toh siapa juga yang tertarik membaca coret-coretan iseng di dalam bis? maka biar saja tulisannya tidak terbaca~
Perjalalan pulangku kali ini ditemani tayangan TV bis. Bisa ditebak, pembahasan yang takkan berhenti minimal sampai satu minggu kedepan, soal calon pemimpin RI. Sore itu, operator Agra menampilkan dua channel TV, bergantian. Dua channel TV yang -rasanya- siapa pun tahu memiliki keberpihakan politik yang saling berlawanan. Aku menelan lidah. Bisa-bisanya, berita dengan tajuk serupa. Sama-sama survei soal elektabilitas calon presiden - wakil presiden, namun hasilnya benar-benar berbeda. Drastis, bertolak belakang. Sesuai dengan pihak yang masing-masing dukung. Jadi surveinya dilakukan kepada responden pendukung masing-masing, begitu? Ah, alangkah lucunya negeri ini. Dan bersyukurlah kita yang termasuk bagian dari kelucuannya. Ya, kita. Termasuk kamu, termasuk aku. Apapun, hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk bumi pertiwi. Kualihkan pandangan dari TV. Kembali menatap jalanan. Sedikit lagi waktu maghrib.
Azan TV berkumandang. Entah, tapi aku merasa ada energi besar yang datang. Energi positif. Kalau diibaratkan di film-film, tiba-tiba ada cahaya terang yang menyelimuti bumi, berpendar, bersinar, terang. Hangat. Ramadhan tiba! aku tersenyum otomatis. Nyengir. Inilah bulan, dimana musuh bebuyutan manusia ditahan untuk sementara. Inilah masanya, ketika produktivitas mesti dijunjung keras. Demi mendengar lantunan azan semakin syahdu berkumandang, aku melepaskan takbiratul ihram. Shalat maghrib. Ya, shalat maghrib di dalam bis Agra Mas yang tengah melaju, menuju Jakarta. Allahu Akbar.. Takbir itu, suaraku bergetar. Ada butiran yang terjatuh sejak kata pertama. Itu adalah perjalanan pulang Agra Mas yang paling emosional sejauh ini, kurasa. Marhaban Yaa Ramadhan. :')
Dan bagian yang sungguh menghibur hati adalah ketika tiba di rumah, mengucap salam, lantas disambut dengan senyuman ummi tersayang. "Alhamdulillah, anak mama sampe.. macet ya, Sayang?" lalu aku dipeluk, Sambutan hangat yang selalu mampu membuatku rindu. Aku melirik jam, sudah pukul tujuh dua puluh. Ketinggalan shalat isya berjamaah, tapi aku hadir tepat waktu sebelum shalat tarawih dimulai. Alhamdulillah. :)
Semoga bukan sekadar ucapan rindu
Melainkan hadir dari harapan tulus nan syahdu.
Selamat datang, Ramadhan
Ini kami, yang sudah sejak lama menanti kehadiranmu..