Kuat-lemah. Adjektiva memang
teramat relatif maknanya, bahkan cenderung subjektif karena tergantung dari
sudut pandang apa, sudut pandang siapa yang digunakan dalam menilai adjektiva
tersebut. Jika teori relativitas mampu menunjukkan bahwa besaran-besaran fisika
seperti panjang, massa, kecepatan, adalah relatif, maka 'kuat' dan 'lemah' yang
merupakan adjektiva barang tentu tidak diragukan lagi kerelatifannya.
Bicara kuat-lemah tidak melulu membahas soal fisik,
atau hal-hal yang kasat mata. Kuat-lemah, lebih jauh lagi memberikan gambaran
tentang kearifan dalam kehidupan. Rasulullah Muhammad SAW pun dalam hadis
mengungkapkan, bahwa yang terkuat bukanlah yang unggul dalam persoalan fisik,
melainkan siapa yang mampu menahan amarahnya. Maka sekali lagi, kuat-lemah
memiliki substansi yang lebih dari sekadar kedudukan, posisi, apalagi tampilan
fisik yang berotot.
Setiap orang tentu memiliki sudut pandangnya
tersendiri, dan tentu, memiliki porsi kuat-lemahnya masing-masing. Bagi seorang
ayah, bisa jadi kuat adalah ketika ia mampu menafkahi keluarganya, ketika ia
bekerja tanpa sekata keluhan. Pun bagi seorang ibu, kuat adalah ketika ia
berhasil mendidik anak-anaknya dengan kesabaran, memberikan contoh-contoh yang
arif dalam berkehidupan. Namun bagi seorang ayah yang tak memiliki pekerjaan,
kuat adalah ketika ia terus berusaha mengais rezeki yang halal, ketika ia mampu
menunjukkan pada anak-anaknya bahwa hidup adalah perjuangan. Atau bagi seorang
ibu yang baru saja kehilangan anaknya, maka kuat diwujudkan dengan keikhlasan,
rasa rela akan takdir yang menyapa buah hatinya. Porsi kuat-lemah memang tak
memiliki harga mati. Karena kuat-lemah sangat dipengaruhi kondisi dan situasi
yang tengah dihadapi.
Kita harus terus melaju positif, seperti apapun
adjektiva yang tersemat. Entah muaranya dari orang lain, entah dari diri
sendiri. Adjektiva bersifat relatif dan takkan pernah kita temui titik temu
yang ideal jika mengikuti kata manusia yang cenderung subjektif. Karena
pengharapan yang jelas pasti hanya kepada Rabb Izzati, pemilik segala hati.
Kita harus terus melajukan atmosfer positif. Kuat-lemah memiliki definisinya
tersendiri. Maka yang terpenting bagi seorang muslim adalah memilih untuk kuat
di jalan-Nya, mengharapkan penilaian semata dari-Nya.
Banyak pujangga yang menganalogikan kuat ibarat batu
karang. Terus-menerus diterpa ombak, namun tetap kokoh berdiri tegak. Sementara
jika memperluas pandangan, seyogyanya kita dapat mengatakan bahwa batu karang
sungguh teramat lemah. Mengapa ia tak sanggup bangkit, menghindar dari terpaan
air laut? Atau bolehlah kita mengatakan betapa gulungan ombak itu begitu kuat.
Menghantam karang terus-menerus, tiada bosan, kokoh bertahan. Persepsi yang
berbeda menghasilkan interpretasi yang tak sama. Itulah alasan mengapa pendapat
kita seringkali tiada bersua. Maka tak ada yang keliru dari sebuah keadaan.
Karena pada akhirnya semua kembali kepada kita. Hendak melihat dari sudut
pandang apa, hendak mencerna dari sudut pandang yang mana.