Hai, apa kabar kamu yang di sana? Bersyukur ya, di tengah keramaian media sosial yang riuh dan begitu gaduh, kita masih bisa bertukar sapa di ruang sepi yang satu ini. Ya, kadang diskusi kita dalam hening terasa lebih menghangatkan, bukan?
Aku harap, semoga kamu baik-baik saja. Belakangan hidup memang terasa tak mudah bagi banyak orang, dan mungkin saja kita salah satunya. Namun, bukankah tak ada janji yang lebih indah dari kesulitan yang akan hadir beriringan dengan kemudahan-kemudahan?
Hmm.. Jadi, ada cerita apa dalam kehidupanmu? Adakah kabar yang perlu aku tahu? Atau setidaknya, yang bisa kau bagi denganku. Tak peduli sereceh apapun itu. Sepertinya akan menyenangkan jika aku bisa mendapat sedikit kabar darimu. Oh iya, ku pikir, kamu harus tahu bahwa di dunia ini akan ada seseorang yang sama sekali tak keberatan mendengar kisahmu, rapuhmu, bahagiamu, sedih dan senangmu. Tentu saja tak selalu aku. Tapi kalau kau mau cerita padaku kali ini, insyaAllah akan ku dengarkan baik-baik dengan senang hati.
Beberapa waktu lalu, aku pernah bertemu dengan seorang ibu. Ia menangis, merengek dalam panjang sujud di salah satu salat fardhu. Sebelumnya kami sempat berpapasan di tempat wudhu. Kamu boleh percaya atau tidak, tapi ibu itu membuatku tak bisa keluar dari dalam toilet. Iya, dia mengunci pintunya dari luar. Setelah beberapa kali aku ketuk, tak lama pintu itu kembali terbuka. Wajah kami berhadapan sejenak. Coba tebak, bagaimana ekspresinya?
Sepertinya kamu salah. Ibu itu menatapku tajam seperti orang yang tengah marah dan kesal. Ada badai di kedua bola matanya. Aku enggan menatap lama-lama. Kusungging senyum, lantas ia melengos masuk ke dalam toilet menggantikan aku. Aneh dan jujur saja, agak meyebalkan. Tapi ya sudah, bahkan saat itu kukira ia memiliki gangguan atau semacamnya. Ku pikir demikian. Ternyata, aku salah besar.
Ya, nyatanya aku melihat ibu itu menangis, merajuk di atas sajadah. Ia membuka Al-Qur'an lembar demi lembar, beberapa kali ku dengar isak tangisnya beriringan dengan suara parau memanggil Rabb-nya. "Yaa Allah..." begitu ujarnya. Segera saja aku menyesali praduga tak berdasarku beberapa waktu sebelumnya, yang mengira si ibu memiliki akal yang barangkali kurang sehat.
Rasa jengkel yang sempat hadir sebab aku dikunci dari luar toilet, ditambah menerima sikap yang jauh sekali dari kata ramah, segera ku buang jauh-jauh. Baiklah, beliau sepertinya tengah punya masalah yang jauh dari kata mudah. Dan sebaiknya aku segera membereskan masalah dengan hatiku yang sudah seenaknya berprasangka tanpa dasar jelas.
Aku masih ingat kejadian itu dengan baik. Ada pembelajaran penting yang aku dapat: setiap orang menghadapi perjuangannya masing-masing. Kadang kita terlalu serampangan dalam memberikan penilaian pada orang lain, hanya berdasarkan suatu kejadian atau bahkan hanya dalam satu kali papas. Jika ia terlihat begitu menyebalkan, boleh jadi saat itu ia tengah mengalami hari yang jauh dari menyenangkan, dan berkali-kali menguji perasaannya. Sebaliknya, jika ia terlihat begitu sempurna dan tanpa cela, bukan berarti ia tak pernah merasakan sedih atau kecewa seperti manusia lainnya. Pada akhirnya, kita sama-sama manusia.
Hei, jadi bagaimana kabarmu? Aku harap, kamu baik-baik saja. Titip salam syahdu untuk langit di kotamu yang boleh jadi sama, atau mungkin berbeda dengan kotaku. Berceritalah. Semoga kita masih diberi waktu.
Sumber Gambar |
Ditulis di Bumi Pasundan,
28 Juni 2021.