The Secret Hero, begitu
biasa kami menjuluki beliau. Bukan tanpa alasan, melainkan karena jika kamu
meletakkan memo di atas meja piket pada Gedung G sekolah seperti ini misalnya, “Assalamu’alaikum
Pak.. Kamar 202 Z, pintu kamar mandi rusak. Terima kasih.” maka dapati
pintu kamar mandi kamar 202 Z akan kembali normal sepulangnya dari sekolah.
Beliau, salah satu guru terbaik kami, Pak Suhali. Ialah the secret hero itu.
Mungkin nyaris setiap
anak memiliki kenangan khusus jika mengingat Pak Suhali. Bukan apa-apa, sebab
beliau selalu menebar senyum. Pada sesiapa saja yang dijumpai, agaknya Pak
Suhali selalu terlihat ceria dan kerap menghibur lawan bicaranya. Bagi saya
pribadi, Pak Suhali adalah guru terbaik jika saja rutinitas sekolah tengah
membuat bosan (kalau tidak mau dikatakan membuat kepala terasa berat. hhe).
Pernah beberapa waktu saya mengecat pinggir jalan trotoar sekolah bersama Pak
Suhali. Hiburan luar biasa. Meski bisa ditebak, hasil gores tangan saya jauh
lebih berantakan daripada milik beliau.
“Nanti di rapot kamu
nilainya nambah loh. Nilai ngecat!” begitu kerap Pak Suhali berujar. Bukan
hanya sekali, tapi nyaris setiap bertemu saya, yang diungkit mesti persoalan
cat dan rapot. Diam-diam saya sungguhan mengecek rapot. Hha. Kali saja benar
ada nilai ngecat.
MAN Insan Cendekia
merupakan sekolah berasrama yang menerapkan budaya salam antar civitasnya.
Setiap berpapasan di jalan, di manapun, kami akan saling melempar salam.
Termasuk kepada para guru, pak satpam, juga para karyawan, salah satunya Pak
Suhali.
“Assalamu’alaikum, Pak,”
ucap saya sambil membawa kotak eskrim kulit semangka hasil praktik untuk
penulisan karya tulis ilmiah.
“Wa’alaikum salam!” jawab
beliau bersemangat seperti biasa, “itu apa itu?” tanya Pak Suhali.
“Hehe.. ini es krim kulit
semangka, Pak. Bapak mau coba?” saya menawari.
“Es krim kulit semangka?”
beliau bertanya lagi. Kemudian, pada bagian ini, saya agak lupa. Namun seingat
saya, Pak Suhali lantas mencicpi es krim kulit semangka. Ada beberapa yang
tidak ditaruh di dalam kotak es krim, tapi dimasukkan ke dalam plastik. Sejauh
yang saya ingat, beliau mencicipi dan mengatakan bahwa es krimnya enak. Sejak
saat itu, setiap bertemu, sapaan beliau pada saya bukan lagi soal rapot dan
cat. Yap, benar sekali. Melainkan soal es krim kulit semangka.
Saya lulus dari Aliyah
pada tahun 2013. Alhamdulillah, pada bulan Januari tahun 2016, saya
berkesempatan untuk kembali ke tanah berjuta kisah itu dengan judul agenda
magang. Ya, jurusan kuliah saya mengharuskan mahasiswanya untuk menempuh
magang, dan qadarullah saya magang di MAN Insan Cendekia.
Suatu ketika, ketika tengah magang, saya
menjumpai Pak Suhali. Beliau sedang berjalan di dekat gazebo baru yang lokasinya tidak jauh dari tempat wudhu. Sungguh tidak banyak berubah. Beliau tetap bersemangat
tersenyum, semangat menebar salam, dan semangat ketika berbicara.
“Assalamu’alaikum, Pak.”
“Eeeh kamu,” agaknya Pak
Suhali mengingat wajah saya tapi tidak tahu siapa nama saya.
“Iya Pak, saya Riris
angkatan 16. Yang bikin es krim kulit semangka Pak, hehe” mendengarnya beliau
tertawa.
“Iya, iya! es krim kulit
semangka ya,” sejenak bernostalgia.
Alhamdulillah. Selama
belajar di Insan Cendekia, saya mendapat pemaknaan bahwa semua orang yang kita
jumpai dalam hidup sejatinya merupakan guru. Begitu pula bagaimana saya memandang sosok
Pak Suhali. Ada banyak hal yang saya pelajari dari beliau. Bukan hanya karena
kenang-kenangan ngecat pinggir trotoar, menyapu jalanan samping gedung CSA,
atau tentang es krim kulit semangka. Lebih dari itu, dari beliau saya belajar
bagaimana menularkan energi positif pada siapa saja. Level saya masih jauh di bawah beliau, dan saya belajar untuk itu.
Kemarin, Ahad sore
tanggal 16 Safar 1439 H (5 November 2017), saya mendapat kabar akan kepulangan
bapak penebar senyum itu. Beliau meninggal dunia di RSUD Pasar minggu karena
sakit akibat adanya kerusakan jaringan saraf di bagian kanan, yang berakibat
luar biasa pada kondisi fisiknya. Mendapatkan kabar tersebut dari salah seorang
guru, membuat saya nyaris tidak percaya. Sedih. Mengapa
begitu tiba-tiba? saya bahkan tidak tahu-menahu bahwa beliau sakit. Padahal
beberapa waktu lalu saya baru saja kembali berkunjung ke Insan Cendekia.
Qadarullah, segala
sesuatunya berlangsung begitu cepat. Bahkan berdasarkan informasi, satu hari sebelumnya,
beliau masih membantu berbagai kegiatan di area sekolah. Maha Besar Allah
pemilik skenario yang menggenggam jiwa hamba-hamba-Nya.
Sayang, belum sempat saya berterima kasih atas segala inspirasi yang diberikan oleh Pak Suhali. Beliau adalah orang
yang baik. InsyaaAllah. Semoga amal ibadah Pak Suhali diterima di sisi Allah. Aamiin allahumma aamiiin. Saya
menyaksikan sendiri bertapa banyak dari kami yang berbelasungkawa atas
kepulangan beliau. Bukan kepergian, melainkan kepulangan. Sebab bukankah
pada hakikatnya, meninggal dunia merupakan momentum pulang bagi hamba kepada
Rabb-nya? Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun...
Lantas, diri, apa kabar
hari ini?
Kapan terakhir kali kamu
mempersiapkan diri?
Kapan terakhir kali kamu
mengingat akan mati?
Jalan yang pernah saya cat bersama Pak Suhali. Hitam-putih. |
Ditulis di Kota Hujan
ketika hujan
pada Senin, 17 Safar 1439 H