Hampir
satu bulan Indonesia berduka atas berpulangnya sosok yang seolah tak pernah
menua, yang pada dirinya laksana hidup semangat pemuda belas-dua puluh tahunan
meski usia fisiknya terbilang sudah delapan puluhan.
Mengingat-ingat
saat itu, barangkali adalah salah satu pekan tersendu sebab untuk pertama
kalinya merasai kehilangan “public figure” masa kini yang bahkan belum
pernah sekalipun bersua. Kemudian ketika membuka catatan, saya menemukan
beberapa tulisan tentang beliau; Eyang Habibie.
***
September 13, 2019, 8:11
AM
"Kak," sebut
saja Halya, salah satu murid yang kuajar petang itu, memohon izin memotong
pembicaraanku di depan kelas.
"Ya?" aku
mempersilakan. Suasana kelas masih agak ramai. Kami baru saja masuk lagi usai
istirahat shalat.
"Pak Habibie
meninggal," lanjutnya.
**
Kabar itu mau tidak mau
cukup mendistraksi kelas kami. Masing-masing mulai membuka gawai, memeriksa
informasi yang beredar. Terkecuali aku. Memang, kiranya baru saja kemarin
kulihat banyak akun-akun di media sosial seolah berlomba mendoakan beliau
(setidaknya itu yang tampak pada postingan-postingan mereka). Aku tahu bapak
yang aku kagumi itu, yang pernah teramat ingin aku jumpai itu, tengah sakit dan
dirawat beberapa waktu belakangan.
"Innalillahi wa inna
ilaihi raaji'uun. Beneran?" aku masih belum percaya. Tak kusempatkan
membuka gawai. Lebih memilih bertanya pada kelas.
"Beneran apa
hoaks?" sahut yang lain.
"Beneran."
Jawab Halya mantap.
**
Kenangan-kenangan tentang
sesosok inspiratif itu tak bisa dicegah untuk tidak berputar di kepala. Petang
itu, kami bersama-sama melangitkan doa untuk Pak Habibie. Kemudian di tengah
pikiran yang mulai berlarian kesana-kemari, aku mencoba kembali mengondusifkan
kelas—mengondusifkan pikiranku sendiri lebih tepatnya. Tapi yang keluar
ternyata malah kalimat seperti ini.
"Kakak jadi sedih,”
aku menarik napas sambil berusaha tersenyum tipis, “Bukan apa-apa sih, kakak
merasa ada hubungan emosional dengan Pak Habibie," ujarku, tanpa
menskenariokan untuk mengeluarkan deret kata semacam itu. Hubungan
emosional? hei, siapa kamu? Mereka mendengarkan. Mungkin agak menerka,
hubungan emosional seperti apa yang aku maksud.
**
Aku tahu. Jika
diperhitungkan, tentu aku bukan apa-apa. Jika mengagumi seseorang adalah sebuah
persaingan, barangkali aku ada di barisan nyaris paling belakang di arena
tanding. Jangankan menang, barangkali aku tak masuk bahkan jadi cadangan.
Maksudku, aku mungkin tak terbaca, tak dikenal, belum pula mampu mengikuti
jejak-jejak beliau yang luar biasa. Tapi entah bagaimana aku merasa ada
hubungan emosional dengan Pak Habibie. Dan oleh sebab kebermanfaatan beliau
yang menjangkau penjuru bumi, aku yakin bukan hanya aku yang sekehilangan ini.
Yah, barangkali salah satu alasan terkuatnya adalah karena Insan Cendekia. Sebab sekolah yang teramat bersejarah dalam hidupku itu tidak lain digagas oleh beliau. Tak jarang pula kami mendengar perkataan yang kurang lebih seperti ini, "Berjuanglah! sebab kalian adalah anak ideologisnya Pak Habibie".
**
Aku tahu. Ada begitu
banyak anak bangsa yang mengaku sebagai anak atau cucu ideologis beliau. Memang
demikian lah laki-laki yang tak pernah menua jiwanya itu membahasakan kami,
anak-anak bangsanya. Beliau mewariskan apa yang disebut-sebut sebagai amal
tiada putus: ilmu. Ketulusannya dalam menyampai ilmu, barangkali
menjadi alasan terkuat mengapa demikian banyak orang yang merasa punya hubungan
emosional dengan beliau.
Aku pernah pada fase
begitu ingin menjumpai beliau. Ingin kuucap terima kasih sampai-sampai tak tahu
bagaimana cara mengucapkannya. Kucari-cari alamatnya, bermodalkan internet di
ruang lab komputer sekolah. Kutanya-tanya kabarnya, pada beberapa guru yang
saat itu kuterka barangkali tahu atau barangkali bisa membantu.
Hingga pada suatu hari,
aku mendapati diriku menjumpai sosoknya di lantai dua MAN Insan Cendekia
Serpong; sekolah yang dicetuskan olehnya 23 tahun lalu, sekaligus sekolah
tempatku banyak mempelajari hidup. Ia mengenakan baju safari, tengah istirahat
sejenak di ruang bimbingan konsultasi Bu Rini. Ramah sekali. Hanya itu yang aku
ingat, sebab yah, sayangnya, aku menjumpai sosoknya hanya dalam mimpi.
September 13, 2019,
8:18 AM
Rasanya seperti
kehilangan satu cita-cita. Rasanya seperti dipaksa memangkas satu harap.
Rasanya ingin memrotes diri sendiri, "Mengapa kamu tak berjuang lebih
keras hari kemarin?" sebab belum pernah sampai kata itu keluar, bahkan
meski hanya lewat tulisan. Belum tercapai cita sederhana mengucapkan terima
kasih pada beliau. Belum juga berhasil mempersembahkan apapun bahkan dalam
bentuk paling sederhana sekalipun. Sampai pada akhirnya kubaca deret kalimat
yang kabarnya merupakan perkataan beliau pada sebuah kesempatan:
“Kalau
saya ditanya, Habibie siapa, insinyur, muslim, ataukah Indonesia. Saya jawab
bahwa Habibie adalah muslim. Mengapa? Karena kalau saya mati, saya tidak lagi
berwarganegara. Kalau saya sampai ke akhirat, yang ditanya bukan kedudukan
apalagi kewarganegaraan. Karena itu, saya jawab: saya muslim. Itu bukan
emosional, melainkan rasional.”
“Saya
percaya pada hari akhir. Saya tidak akan ditanya soal paspor. Jadi, kalau saya
jawab demikian, jangan bilang Habibie tidak nasionalis. No..”
Perkataan beliau itulah
yang kemudian membuatku sadar bahwa.. hei!, tentu saja masih bisa kulantun doa, masih bisa kuucap
terima kasih, melalui-Nya.
**
Terima kasih, Eyang.
Maafkan kami yang belum sampai berterima kasih padamu. Bahkan di tengah
kesedihan kami, untai nasihatmu juga yang menjadi jalan pembuka harap.
Barangkali mendoakan
adalah sebaik-baik cara berterima kasih. Terima kasih, Eyang. Allah,
mudahkanlah hisab beliau. Ampuni dosa-dosanya. Berilah ia tempat terbaik di
sisi-Mu. Sungguh aku bersaksi insyaaAllah beliau adalah orang baik, dengan
kebermanfaatan yang meluas lagi semerbak. Yang tidak hanya mengajarkan tentang
bagaimana berilmu, tapi juga, atas izin-Mu, menjadi jalan banyak orang—salah
satunya aku—"menemukan" Engkau. Terima kasih Eyang Habibie. Terima
kasih atas Insan Cendekia-mu; tanah berjuta kisah yang berikan banyak sekali
pelajaran untuk kami.
15 September 2019
Hari ini ketika melewati
salah satu jalan di Kota Bogor, ada yang sedikit berbeda. Jejeran tiang bendera
pada kanan-kiri jalan yang biasanya kosong atau paling tidak berisikan
bendera-bendera negara, hari itu terisi penuh dengan bendera tanah air Indonesia.
Namun ada yang berbeda. Tak sampai pada ujung tiang bendera-bendera itu
berkibar, melainkan hanya setengah tiang saja.
Oh ya, rupanya masih
berkabung bangsa kita.
19 September 2019
Satu pekan sudah, Pak
Habibie berpulang. Dalam masa-masa kemarin, aku begitu merasa kehilangan atas
kepulangan beliau. Tidak berlebihan menurutku, jika dikata bahwa kepergian
sosok yang menyebut dirinya sebagai Eyang itu menyisakan banyak kehilangan pada
hati-hati sesiapa yang mengenalnya. Bukan hanya mereka yang pernah bertatap,
tapi bahkan yang belum pernah bersua pun—aku salah satunya—juga merasakan
kehilangan.
23 September 2019
Begitulah orang baik.
Bahkan kepergiannya mampu mengantarkan banyak orang pada kebaikan-kebaikan. Aku
percaya bahwa ketulusan berbicara lebih banyak dari kata-kata. Bahwa ketulusan
bersuara lebih lantang dan lebih nyaring dibandingkan suara itu sendiri.
InsyaAllah Eyang adalah orang yang tulus berbuat baik. Purna sudah kiprah Eyang
di panggung sandiwara dunia ini.
Terima kasih, Eyang.
Maafkan kami.
***
Sumber |
Kabarnya,
generasi terdahulu banyak menerima nasihat semacam ini, “Rajin-rajinlah belajar,
supaya pintar seperti Pak Habibie!”. Agaknya kearifan dari beliau di masa tuanya
juga bisa menjadi inspirasi dari nasihat hebat, “Jangan pernah berhenti
belajar, supaya kalau tua nanti tidak mudah lupa dan tetap bisa berkarya,
seperti Pak Habibie!”
Bogor, 9 Oktober
2019
Ketika hujan yang
dirindu
tiba kembali sambil
merayu.