Judul:
Dari Lembah Cita-Cita
Penulis:
Prof. Dr. Hamka
Penerbit:
Gema Insani
Jumlah
Halaman: 102 halaman
***
Beberapa
bulan lalu, saya baru saja kembali mengecek ulang isi rak buku. Kemudian saya
menemukan sebuah novel lama pemberian ayah berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck” karya Buya Hamka. Membuka kembali novel itu setelah sekian tahun berlalu
meninggalkan kesan baru bagi saya. Ada banyak hal yang membuat saya
bertanya-tanya mengenai sosok Buya Hamka. Agaknya menulis sebuah roman boleh
dikata nyaris tabu bagi seseorang yang masyhur dikenal sebagai ulama kondang.
Dari
sanalah saya mulai membaca lebih jauh tentang seorang Buya Hamka. Hingga pada
suatu kesempatan, saya menemukan buku ini pada salah satu etalase toko buku. Ukurannya
tidak begitu besar, halamannya pun tidak tebal. Tapi soal gizi, saya berani
katakan bahwa buku ini benar-benar bergizi. Ada beberapa hal yang saya catat
baik-baik usai menuntaskan buku ini.
Sampul Depan |
Sampul Belakang |
Buya
membuka "Dari Lembah Cita-Cita" dengan bab yang menurut saya menyenangkan dan menarik untuk
ditelusuri. Tak bisa dipungkiri, bab pertama ini sukses membuat saya jatuh hati
tanpa perlu waktu yang lebih lama. “Dua Orang Pemuda Bertanya”. Buya
mengisahkan bahwa ada dua orang pemuda yang mendatanginya, meminta Buya untuk nengupas soal sumbangsih
seperti apa yang dapat dilakukan oleh pemuda seperti mereka dalam rangka
membangun bangsa dan tanah air.
Dalam
tulisannya, Buya menuturkan betapa dua orang pemuda itu membuat ia mengingat
berbagai kisah pemuda-pemuda yang telah tercatat dalam sejarah. Mulai dari para
pemuda sekolah militer di Turki yang berjuang menumpas kepemimpinan Mustafa
Kemal (seorang sultan yang menerapkan kehidupan sekuler pada rakyatnya), pemuda
Ghandi yang meninggalkan segala kenyamanan hidup demi membela bangsa India-nya
yang kerap dianggap hina oleh bangsa lain, pemuda Sun Yat Sen, anak petani yang
tergerak hatinya memperjuangkan kemerdekaan bangsa, sampai pemuda Indonesia; Hatta
yang pada usia 25 tahun telah mendirikan Perhimpunan Indonesia dan pada 26
tahun telah memimpin Kongres Liga melawan imperialisme, juga Soekarno yang pada
usia 28 tahun telah membaca pleidoinya demi membela Indonesia ketika perkara di
Landraad, Bandung.
Buya
tak berhenti sampai di sana. Tersebut pula para pemuda di masa Rasulullah (salallahu 'alaihi wasallam).
Adalah itu Ali bin Abi Thalib yang masih berusia 12 tahun, Bilal bin Rabbah, Ammar
bin Yasir, juga Abu Dzar Al Ghifari.
“Ia adalah Ali. Mulai beriman pada usia 12 tahun. Saat di dalam suatu majelis, Nabi ﷺ bertanya kepada orang-orang tua Quraisy, siapa yang menolongnya menyerukan seruan Allah. Tidak seorang pun menjawab, hanya Ali yang masih anak-anak itu yang menyatakan bersedia untuk hidup bersama-sama dan mati bersama-sama.”
“Ia adalah Bilal, hamba sahaya yang masih muda, dibujur di panas matahari yang amat terik di padang pasir karena mengikuti ajaran Nabi ﷺ, tetapi ia masih tetap mengucapkan “Allah سبحانه وتعالى satu”"
“Ia adalah Ammar bin Yasir, yang dipukul dan didera; ia adalah Abu Dzar Al Ghifari, yang dikeroyok oleh pemuda-pemuda Quraisy, semuanya karena telah mengikuti pendirian Nabi ﷺ.”
“Ia adalah Ali. Mulai beriman pada usia 12 tahun. Saat di dalam suatu majelis, Nabi ﷺ bertanya kepada orang-orang tua Quraisy, siapa yang menolongnya menyerukan seruan Allah. Tidak seorang pun menjawab, hanya Ali yang masih anak-anak itu yang menyatakan bersedia untuk hidup bersama-sama dan mati bersama-sama.”
“Ia adalah Bilal, hamba sahaya yang masih muda, dibujur di panas matahari yang amat terik di padang pasir karena mengikuti ajaran Nabi ﷺ, tetapi ia masih tetap mengucapkan “Allah سبحانه وتعالى satu”"
“Ia adalah Ammar bin Yasir, yang dipukul dan didera; ia adalah Abu Dzar Al Ghifari, yang dikeroyok oleh pemuda-pemuda Quraisy, semuanya karena telah mengikuti pendirian Nabi ﷺ.”
Tapi
jurus pamungkas yang membuat saya jatuh hati bukan terletak pada uraian sejarah
pemuda-pemuda tersebut di atas. Sebab mungkin ini bukan kali pertama saya
mendapat gagasan bahwa pemuda memiliki semacam energi besar yang dapat memberi
sumbangsih hebat dalam sebuah peradaban. Kalimat pamungkas itu justru hadir
setelah penuturan Buya tentang sirah pemuda-pemuda.
“Saya lebih senang benar kepada
mereka berdua yang datang, saya lebih senang berhadapan dengan mereka,
sebagaimana senangnya Socrates dengan murid-muridnya, daripada jika saya
berhadapan, bertabligh di surau yang bening sepi membicarakan surge dan neraka.
Kepada orang tua, saya ajarkan bahwa kita pasti mati.
“Namun, pemuda berkata, ‘Sebelum
mati bukankah hidup? Mengapa kita mesti mengingati mati saja, padahal kita
yakin bahwa sekarang kita hidup? Bukankah sebelum melalui pintu mati, kita mesti
menjalani hidup?”
Daftar Isi "Dari Lembah Cita-Cita" |
Demikian
lah Buya membuka buku ini, dengan kearifan yang membangkitkan rasa ingin tahu untuk
menuntaskannya sampai habis. “…Pertanyaanmu, dua-duanya akan saya jawab sekadar
tenagaku, hai Pemuda! Moga-moga Allah akan memberikan kemuliaan dan kejayaan
kepada tanah air kita berkat paduan semangatmu semua. Dengarkanlah!”
***
Sesuai
judulnya, “Dari Lembah Cita-Cita” mengantarkan saya pada pemahaman tentang bercita-cita.
“Supaya
pemuda beroleh kemenangan di dalam mencapai segala cita-citanya, hendaklah ia
mempunyai dada yang lebar, pahaman yang luas, dan memandang dunia jangan dari
segi buruknya saja (pesimis-tasyaum), hendaklah dipandangnya juga dari segi
baiknya (optimis-tafaul),” begitu tulis Buya pada salah satu pembukaan bab
dalam buku ini.
Ada
banyaak sekali hikmah, pelajaran yang dapat dipetik. Saya merekomendasikan buku
ini terkhusus untuk pemuda-pemudi muslim yang barangkali tengah menghadapi
kerancuan dalam bercita-cita, dalam menentukan porsi keduniaan nan akhirat,
yang tengah dihadapkan pada kebingungan arah, boleh juga dikatakan untuk mereka
yang sedang mengalami quarter life crisis. Ahlan!
Terima
kasih kepada Buya, semoga apa yang Buya tulis menjadi amal jariyah. Aamiin...
Ditulis pada 20 Dzulqo'dah 1440 H
di pinggiran Kota Jakarta,
Rizky Sahla Tasqiya