|
Judul: Anak-anak Totto Chan: Perjalanan Kemanusiaan untuk Anak-anak Dunia
Penulis: Tetsuko Kuroyanagi
Alih Bahasa: Ribkah Sukito
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Kedelapan: Januari 2016
Jumlah Halaman: 328 halaman
|
Buku ini sukses membuat saya menangis.
Tetsuko Kuroyanagi—Totto Chan—apik sekali memilih penggal kejadian untuk
dibagi-bagikan pengalamannya kepada orang banyak. Buku fenomenal karyanya yang
berjudul "Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela" merupakan buku yang
kemudian mengantarkan saya untuk menikmati buku ini; "Totto Chan’s
Children". Berbeda dengan "Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela"
yang merupakan sebuah novel terinspirasi kisah nyata Nyonya Kuroyanagi semasa
kanak-kanak, "Totto Chan’s Children" merupakan catatan perjalanan Ny.
Kuroyanagi selama berkunjung ke beberapa negara pada tugas kemanusiannya
bersama UNICEF.
|
Peta Kunjungan Duta Kemanusiaan UNICEF |
Banyak
sekali cerita fakta mengenai anak-anak di dunia yang membuat hati meringis. Mulai
dari kelaparan, ketidaktersediaan air bersih yang memaksa mereka minum air kotor
hingga sebabkan diare bahkan kematian, kejutan ranjau darat di dalam mainan dan makanan, anak-anak
yang terlibat pelacuran untuk bisa makan, sampai luka psikologis yang menyayat
mental mereka. Bagi
saya pribadi, buku ini begitu sukses membuat saya sadar betapa recehnya ujian
kesusahan yang mungkin pernah terbesit dalam kepala untuk mengeluhkannya. Saya
rasa Ny. Kuroyanagi, pemilik nama kecil Totto Chan itu, barangkali sangat
menyayangi anak-anak.
|
Anak perempuan di Vietnam (1988) |
|
Sekolah dasar di Vietnam (1988) |
|
Rumah di Irak yang penuh kotoran (1991) |
Melalui buku ini, Ny. Kuroyanagi menceritakan betapa kesehatan mahal sekali harganya. Di Baghdad, Irak, pada tahun 1991 tidak ada listrik,
tidak ada air bersih, bahkan tidak ada saluran pembuangan hingga
kotoran masuk ke rumah-rumah penduduk. Rumah sakit Qadissiya Central Hospital di kota itu, tidak memiliki
apa-apa. Tidak ada susu, tidak ada obat, dan tidak ada obat bius untuk operasi.
Perkataan salah seorang dokter disana terdengar begitu menyedihkan, "Tidak ada yang membuat dokter lebih frustasi daripada mendiagnosis penyakit dan tak bisa mengobatinya. Dokter mungkin ingin mengoperasi, tapi ia tak bisa melakukannya karena tak ada listrik. Bisakah Anda mengerti, betapa sulitnya bagi saya untuk tetap diam dan hanya memandang saat seorang anak meninggal?"
|
Bayi perempuan usia 2 bulan di Irak |
|
Anak kurang gizi di Etiopia (1992) |
|
Bayi yang tidak mendapat inkubator di Haiti (1995) |
Salah
satu cerita yang paling berkesan usai saya membaca ini adalah bagian ketika Ny.
Kuroyanagi mengunjungi Rwanda pada tahun 1994—satu tahun sebelum saya lahir. Bagaimana
perasaan kita ketika menjumpai dua ribu mayat tanpa kepala bertumpukan? Dibiarkan
begitu saja sebab tak ada anggota keluarga yang tersisa untuk menguburkan. Saya
sampai bergidik ketika membaca cerita tentang seorang anak laki-laki di Rwanda
yang suatu saat ditanya oleh tim UNICEF, “Apakah benar orang tuamu dibunuh?”
dan ia hanya menjawab, “Aku tidak tahu”.
Awalnya
dikira bocah laki-laki itu masih terlalu kecil untuk mengingat kejadian. Namun
tak lama, ia berlari menghampiri tim UNICEF yang sebelumnya bertanya. “Sebenarnya
aku tahu,” ujarnya, “Well, begini. Penerjemah yang tadi bersamamu adalah orang
yang membunuh orang tuaku.” Maksudnya, jika ia memberitahu bahwa orang tuanya
dibunuh, ia akan menjadi korban selanjutnya. Di Rwanda pula, kebon kopi mengeluarkan
aroma busuk. Bukan karena kopi yang membusuk, melainkan karena bau ratusan
mayat yang dikuburkan disana. Bahkan hotel pun bau busuk. Orang-orang dipaksa
masuk berdesakan ke kamar hotel seperti ikan sardine lalu dibantai. Pilu sekali.
Ada
terlalu banyak cerita menarik yang saya bahkan bingung untuk memilih penggalan mana yang hendak dituliskan disini. Ketika membaca tentang ranjau dan
bom yang bertebaran dimana-mana di wilayah Bosnia-Herzegovina, pada kunjungan
Ny. Kuroyanagi tahun 1996, saya tak habis pikir hal macam apa yang ada dalam
pikiran para pelaku. Ranjau darat diletakkan di tanah dalam bentuk es cone, dan akan meledak ketika
anak-anak mulai memakannya. Bom sengaja dibentuk seeperti cokelat, dan akan
meledak ketika kertas perak pembungkusnya dibuka. Bom bahkan juga disembunyikan
di dalam boneka. Dalam buku ini, Ny. Kuroyanagi menuliskan, “Betapa
mengerikannya orang-orang yang sengaja mempelajari psikologi anak hanya untuk
membunuh anak-anak!”
|
Anak laki-laki di Sarajevo (1996) |
|
Ny. Kuroyanagi dan anak-anak Bosnia (1996) |
Tidak
banyak yang saya ceritakan disini. Sebagian gambar di atas barangkali cukup
mengabarkan isi bukunya. Begitu semerbak pelajaran yang saya dapatkan dari ragam cerita yang dituturkan Ny. Kuroyanagi mengenai perjalanannya. Anak-anak seringkali memberikan pelajaran penting bagi orang-orang yang dikatakan sudah dewasa.
Terakhir,
berbahagialah mereka yang berbagi cerita bermanfaat melalui tulisannya. Bagi
siapapun, saya pikir buku ini sangat recommended.
Serius! :)