Kali
ini saya coba kembali menceritakan bacaan yang belum lama saya
santap. Sebenarnya sudah lama sekali saya tidak membaca novel, terlebih dengan
genre seperti ini. Novel berbau percintaan yang membahas soal jodoh-jodohan. Belakangan
saya lebih menaruh minat pada bacaan-bacaan non-fiksi seputar pendidikan dan
anak-anak. Tapi novel ini punya sejarah tersendiri.
Judul:
Satu Jodoh Dua Istikharah
Penulis:
Ma’mun Affany
Penerbit:
Affany
Cetakan Pertama: Oktober 2016
Cetakan Pertama: Oktober 2016
Jumlah Halaman: 339 halaman
Saat
berkunjung ke Gresik pada Desember 2018 lalu, saya dan mama menetap di rumah salah
satu kerabat yang sebenarnya tak lain adalah keluarga salah satu teman
seangkatan saya selama di Insan Cendekia. Teman saya sendiri saat ini tengah
menempuh pendidikan di Jepang. Alhamdulillah, Allah pertemukan saya dengan
keluarga Om dan Tante di Gresik yang ramah sekali dan sangat bersahabat. (Hikmah
sekolah di boarding school, kerabatnya
ada dimana-mana :D).
Kedatangan
saya dan mama ke Gresik tidak lain untuk menyelesaikan beberapa persoalan di
Jawa Timur. Jadilah kami bolak-balik Gresik-Surabaya-Malang. Dan selama itu juga
keluarga Om dan Tante banyak membantu kami.
Kembali
lagi ke novel. Mahabesar Allah dengan sekanario-Nya. Om adalah seorang manajer
di salah satu percetakan di Gresik. Om juga merupakan seorang penulis. Saya
dibekali empat buah buku, tiga di antaranya adalah novel dan satu buku lagi
merupakan buku karya tulisan Om sendiri. Novel pertama yang disodori pada saya
adalah novel ini, karya Ma’mun Affany—salah seorang karib Om—berjudul “Satu
Jodoh Dua Istikharah”. Saat itu saya belum terpikir untuk membacanya. Masih
terngiang dalam kepala saya bagaimana menuntaskan bacaan buku statistik olah
data untuk penyelesaian tesis yang dengan kerelaan hati saya tinggalkan
sementara di Jakarta (walaupun sebenarnya laptop tetap dibawa—meski sama sekali
tidak tersentuh pada akhirnya—). Tapi saya menerima pemberian Om dengan sangat senang hati.
Terbayang koleksi buku di rumah bertambah empat buah. :D
Qodarullah,
begitu urusan di Jawa Timur selesai dan saya tiba di Jakarta, saya mulai
membuka-buka novel ini. Agaknya menarik juga. Font size-nya pun terbilang
besar, mungkin membacanya tidak akan menyita waktu lama. Jadi sembari menulis
tesis, sesekali saya buka si novel. Mengisi kejenuhan di sela waktu melihat layar
laptop.
Sebenarnya,
sinopsis di bagian belakang buku ini bisa dibilang cukup menggambarkan isinya. Isi
cerita berputar pada 3 tokoh utama; Salman, Tania, Fatimah.
Salman
adalah seorang direktur muda. Ia tampan, kaya, baik hati pula. Barangkali
penggambaran Salman dipotret sedemikian semerbak, sampai pembaca dibawa pada kenyataan pahit bahwa ternyata Salman punya luka hingga sering main perempuan. Adapun Tania, perempuan yang
terikat pada kontrak dengan mucikari, naas sebab ibunya sendiri yang
menenggelamkan ia pada dunia gelap. Tania digambarkan unik, sebab pakaiannya
dideskripsikan rapi tak sebagaimana perempuan malam pada umumnya. Ia juga
dibekali dengan mukenah; perangkat sholat meski apa yang akan dilakukannya
adalah perbuatan nista. Adapun Fatimah, gadis muda yang berprofesi sebagai
dokter, digambarkan nyaris sempurna. Cantik, menawan, baik hati, namun jelas ia "keras kepala". Mati-matian membela Salman meski ia tahu akan sejuta cela pada
laki-laki pujaannya itu.
Menurut
hemat saya, inti dari cerita dalam novel ini adalah tentang penerimaan.
Barangkali Fatimah menjadi satu-satunya tokoh utama yang paling “bersih”, setelah
Salman yang di balik gemerlap prestasi dan kemewahan pencapaiannya ternyata
menyimpan luka, atau Tania; perempuan berhati mutiara yang terjerembab dalam dunia
gelap malam. Ma’mun Affany seolah hendak menyampaikan bahwa ada ruang dalam
diri manusia yang hanya bisa ditaklukan dengan penerimaan atas titik lemahnya.
Sebagaimana Salman yang akhirnya luluh atas segala penerimaan tanpa cela dari
Fatimah, atau Tania yang rela menjadi abdi sepanjang hidup oleh sebab
penerimaan utuh dari seorang Salman.
Saya
tidak akan menceritakan ceritanya secara lengkap. Nanti jadi spoiler, hhe. 😊 Sebagai pembaca yang sebenarnya
bukan sebenar-benar penikmat novel roman, saya bisa katakan bahwa novel ini worth to read. Terima kasih pada penulis,
Ma’mun Affany, karena sudah menulis dengan apik :D bahasanya ringan, mengalir,
mudah dipahami, dan tidak bertele-tele. Sukses menghadirkan penokohan yang
terdeskripsi dengan jelas meski tanpa dijabarkan detail di dalam novel. Tapi dengannya,
saya jadi mengenal dan bisa turut menjelaskan seperti apa sosok Salman, Tania,
juga Fatimah, yang mungkin saja mereka ini ada versi riilnya di dunia
nyata entah dengan nama siapa. Novel ini berhasil membuat saya memperluas jangkauan
pandang atas dunia yang mungkin selama ini luput dari wawasan.
Terakhir,
pembelajaran penting khususnya bagi perempuan barangkali hadir dari sosok Fatimah.
Bukan atas sikap “buta” nya sebelum menikah, melainkan ketika ia berperan
sebagai istri bagi suaminya. Melalui sosok Fatimah, penulis seolah hendak
menyampaikan bahwa ada peran istimewa yang dimiliki perempuan sebagai istri, “Tugas
utama perempuan adalah mengubah laki-laki menjadi lebih baik dalam agamanya,
dan menjadikannya lebih semangat menjalani kehidupannya.”
Menarik. Sebab kaum perempuan kadang lupa
bahwa mereka juga punya peranan jadi pendamping, bukan hanya sekadar untuk
dibimbing. :)