Aster, kamu tahu apa yang
lebih menyakitkan dari ditinggalkan? ya, meninggalkan. Dan akan semakin sakit
ketika alasan di balik meninggalkan itu adalah memenuhi permintaan untuk tak
muncul di hadapan lagi. Jadi sungguh maafkan aku, Aster. Aku pilih untuk melepas
dibandingkan harus pergi.
**
“Lalu kalian tidak pernah
bertemu lagi?” Nyonya Val mengangkat kedua alisnya. Aku mengangguk sambil
berdehem pelan.
“He em,” kuseruput cokelat
panas yang baru saja ia suguhi.
“Kenapa dia, hmm.. siapa
namanya?” Nyonya Val berhenti sejenak mengingat namamu, “oh Aster! ya, Aster
itu, kenapa dia menyuruhmu pergi?” kali ini aku angkat bahu.
“Saat itu aku tidak benar-benar
mengerti apa alasannya, Nyonya,” jelasku.
“Sampai saat ini?”
agaknya perempuan berkacamata itu benar-benar tertarik mendengar cerita tentang
kita, Aster.
“Belakangan, kudengar ia
sakit.”
“Hanya itu?” tanyanya
lagi.
“Mungkin karena dia
seorang perempuan,” mendengar jawaban itu, Nyonya Val mengernyitkan dahi sambil
menatapku lekat dari balik kacamatanya.
“Apa salahnya menjadi seorang
perempuan?” wanita itu geleng kepala sambil mengangkat bahu. Alisnya mengerut.
Aku tertawa.
**
Saat itu aku tidak habis pikir apa
yang ada di dalam kepalamu ketika memintaku untuk pergi—jangan muncul
di hadapanmu lagi. Aku juga tidak punya ide mengapa ayah dan ibumu tidak
melarang untuk melakukan hal itu. Aku hancur, Aster. Seperti ditelan ombak
seketika. Aku hancur seperti ditenggelamkan oleh samudra.
**
Mendengar pertanyaan
retoris Nyonya Val, aku tertawa.
“Hei anak muda, kenapa kamu
tertawa?”
“Hm, tidak apa-apa. Perempuan
mungkin memang dicipta untuk membela perempuan lainnya,” ujarku sambil tersenyum.
Kembali menyeruput cokelat panas.
“Yah terserah kau lah.
Tapi dirimu terlihat lebih muda hari ini!” Nyonya Val tersenyum lebar. Aku
tahu, ia selalu saja mengapresiasi tiap aku tertawa. Sebab menurutnya, aku adalah anak muda yang menampilkan ekspresi terlalu serius hingga terlihat sedemikian tua.
“Nyonya,” kataku seraya
meletakkan cangkir di atas meja, “aku baru saja belajar bahwa melepaskan mungkin lebih lebih
mudah daripada pergi,” mataku menatap pasangan sepatu yang melekat di kedua kakiku.
“Syukurlah, anak muda!” wanita
itu menyilangkan kedua tangannya, “kamu benar. Meski, dalam banyak hal, mencintai
atau membenci seseorang jauh lebih mudah daripada menjadikannya bukan apa-apa.”
“Maksudnya?” aku membetulkan
posisi duduk.
“Butuh kekuatan besar
ketika kamu hendak menjadikan seseorang yang hidupnya pernah bersinggungan erat
denganmu supaya berada di tengah—pada titik seimbang, bukan?” aku masih
mencerna kata-kata Nyonya Val hingga ia melanjutkan, “kamu akan lebih mudah
untuk tetap mencintai, atau pilihan kedua adalah membenci. Hanya sedikit orang
yang berhasil menjadikannya bukan apa-apa, menjadikannya bukan siapa-siapa,
Nak.” mendengar itu, aku mengangguk.
“Benar, Nyonya. Lalu
apakah keputusanku untuk melepaskan adalah tepat?”
“Tentu. Melepaskan adalah
salah satu wujud kedewasaan laki-laki,” Nyonya Val melempar senyum. Aku tertawa
lagi.
“Melepaskan berarti
mencintai dengan kesadaran utuh. Yah, bagiku itu adalah salah satu cara membijaksanakan
cinta, Nak,” ia membetulkan posisi kacamata yang kerap turun. Menunjukkan
garis-garis keriput pada wajahnya, tanda usia yang tak lagi muda.
**
Melepaskan barangkali
membutuhkan energi lebih sedikit daripada pergi. Aku memutuskan untuk melepaskan
saja, Aster. Bagiku, setidaknya itu lebih menghadirkan kelapangan hati. Dan agaknya
ia juga lebih membuat bahagia, kan?
**
“Nyonya, apakah melepaskan
juga salah satu wujud kedewasaan perempuan?” tanyaku lagi.
“Menurutmu, anak muda?”
“Melihat reaksi Nyonya,
sepertinya iya,” kami kemudian tertawa.
Sudah lama sekali aku tidak berbicara santai dengan orang lain, Aster.
Sudah lama sekali aku tidak berbicara santai dengan orang lain, Aster.
Syawwal 1439 H
***
Sumber |