Perjalanan Jakarta-Bogor kali ini
terasa lebih panjang dari biasanya. Meski dengan senyap kantuk sisa
perbincangan tadi malam dengan seorang teman, namun cuaca yang sedang agak
‘genit’ bulan ini rupanya jadi warna tersendiri. Cerah, kemudian hujan. Cerah lagi,
kemudian hujan lagi. Aku baru saja kemarin mendapat kabar ada longsor di daerah
Puncak. Grup keluarga besar kami sempat dibuat ramai oleh sebab salah satu
sepupuku yang tengah PKL di Cipanas. Juga baru kemarin, berita soal banjir di
Katulampa. Tentang aliran sungai di Bogor yang siaga 1 dan dikabarkan agar
warga Jakarta bersiaga akan kemungkinan banjir kiriman. Lalu pagi tadi Pasar Parung
digenangi air mengalir. Pertama kali aku kembali ke Bogor dengan disambut hujan
yang sedemikian deras.
Aku adalah penyuka hujan.
Barangkali orang-orang terdekatku tahu akan hal itu. Tapi beberapa waktu
belakangan, entah kenapa, mendengar hujan seringkali membuatku takut. Yah,
mungkin aku hanya sedikit paranoid akibat gempa yang pernah menyapa tiga hari
berturut-turut. Lalu suara hujan menjelma jadi agak berbeda dari biasanya.
Selain karena bunyi seng di dekat rumah yang membuat aksen badai tiap hujan
turun, rupanya ada ketakutan yang muncul dari dalam diriku sendiri. Bagaimana
kalau suatu waktu aku diuji dengan apa yang aku sukai?
Kamu suka hujan. Meminta supaya turun hujan. Tapi sampai kapan kamu
membabi buta? bahwa pada kenyataannya, tidak pada semua kondisi manusia
mengidam-idamkan hujan.
Aku seperti takut pada
keputusanku sendiri untuk menyukai hujan. Aku takut menyukainya dengan tidak
bijak. Meski alasan-alasanku bicara bahwa
kesukaan padanya berangkat atas kabar gembira bahwa waktunya adalah waktu yang
mustajab untuk berdoa. Juga alasan bahwa suara rintik dan bau petrichornya yang
memenangkan. Tapi barangkali aku harus sering-sering mengoreksi ulang.
Kesukaanku pada hujan, apakah alasannya masih berada pada tempat yang tepat? ataukah
jangan-jangan sudah melenceng sedemikian rupa tanpa aku sadar? Sebab bukankah
seseorang akan senantiasa diuji dengan sesuatu yang ia cintai?
Mungkin aku memang harus belajar
untuk menyukai hujan secara bijak; menyukai sesuatu sesuai dengan porsinya.
Agaknya aku setuju pada mereka yang mengatakan bahwa pembeda antara
kanak-kanak dengan orang dewasa adalah tentang kebijaksanaan menyikapi segala
sesuatu. Dan, boleh jadi termasuk urusan sepele
seperti ini.
Belajar mencintai dengan bijak. Bukan
cinta yang buta, tapi cinta yang cerdas penuh rasa dan logika. Cinta yang
membawa maslahat. Cinta yang jernih, tidak ditutup bumbu-bumbu noda. Lalu hari
ini, aku menemukan kembali rasa tenang memandang hujan, setelah sekian lama
terlampau lupa dan ketakutan.
Alhamdulillah.
Sumber |
06/02/2018
Pada perjalanan menuju Bogor untuk bimbingan tugas akhir.