Kamu tahu? sore
itu, kami baru saja pulang setelah bermain dari sungai. Kami berjalan
beriringan sambil memandangi ujung pakaian yang basah. Sesekali melepas canda;
menertawai hal-hal lucu yang baru saja terjadi. Hingga salah satu dari mereka
memanggilku lembut.
“Kak
Riris…” anak perempuan itu memeluk lenganku dari belakang.
“Ya?
Kenapa, Sayang?” aku menoleh. Ia lantas menatapku sambil tersenyum. Manis
sekali.
“Putri
sayang Kak Riris…” katanya setengah berbisik.
“Eh?”
mendengarnya, kemudian aku salah tingkah.
ANAK-ANAK
CIBUNIAN
Oleh: Rizky Sahla Tasqiya
Jika Indonesia adalah syurganya
dunia, aku berani bilang bahwa Desa Cibunian adalah syurganya Pamijahan. Dengan
luas yang mencapai 1.258 hektar, Cibunian sukses menjadi desa terluas di
Kecamatan Pamijahan. Letaknya yang berada di kaki gunung salak menjadikan desa
yang kental dengan budaya Sunda ini berudara sejuk, asri, dan tentu saja; captureable! Indah. Percayalah, bagi
orang asal Jakarta sepertiku, menyaksikan gunung ketika membuka jendela kamar setiap
harinya ibarat mendapat siraman air dingin di tengah terik panasnya matahari.
Menyenangkan sekali.
Aku bersama lima orang teman lainnya
tinggal di Desa Cibunian selama dua bulan untuk menjalankan program KKN-T
(Kuliah Kerja Nyata - Tematik) yang diwajibkan oleh Institut Pertanian Bogor, perguruan
tinggi tempat kami menimba ilmu. Bersyukur, kami ditempatkan di tempat yang
begitu memanjakan mata. Tapi hal yang paling aku syukuri dari tempat ini adalah
keceriaan desa yang ramah dan ramai oleh anak-anak. Mereka memanggil, menarik
ujung baju, mengajak bermain, mengaji, minta diajarkan mengerjakan PR, bahkan
mereka juga menciptakan berbagai macam kejutan. Hei, mungkin Kamu belum tahu,
tapi aku punya banyak cita-cita. Salah satunya adalah bermain bersama anak-anak
sambil berlarian lepas dan tertawa. Sederhana memang, tapi siapa juga yang
berani melarang seseorang untuk bercita-cita?
Namanya Putri. Salah satu dari sekian
anak yang membuat hari-hariku di Pamijahan jadi begitu menyenangkan. Putri agak
berbeda dengan kebanyakan anak lainnya. Ia sering kudapati tidak berkelompok.
Seperti ketika kami latihan drama untuk pementasan di kantor desa misalnya, ia
tidak tertarik untuk diajak bergabung. Hanya menonton sambil tersenyum
malu-malu tiap kuajak ia untuk ikut memainkan peran. Atau ketika kami bermain
di sungai, saling melepas canda. Putri justru asyik sendiri. Sama sekali
berbeda dengan beberapa anak lain yang ricuh saling berebut memegang tanganku,
lantas menarikku menuju tengah derasnya arus.
Satu ketika, kudapati pelipis Putri
berdarah. Kutanya mengapa, ia hanya menggelengkan kepala. Tanpa ekspresi. Aku
dibuat heran, bagaimana ia begitu tenang sementara darah nyata megalir di
pelipisnya? Rasa-rasanya aku yang lebih heboh mencari obat merah dan plester
luka. Hei, ternyata bukan hanya itu yang membuatku jadi bertanya-tanya. Setiap Putri
ikut serta dalam permainan kami, tak jarang, yang lain justru berkomentar
negatif. Komentar polos khas anak-anak seperti “Ih Kak… itu ada si Putri” atau “Yah
Kaak, itu Putrinya,” membuat aku mulai berfikir: memangnya kenapa kalau ada Putri?
Main di sungai adalah aktivitas yang
paling ditunggu oleh anak-anak Cibunian. Aku sih senang-senang saja. Bahkan cenderung kegirangan. Orang yang hobi hujan-hujanan sepertiku diajak main ke
sungai— oleh anak-anak pula. Nikmat mana lagi yang pantas didustakan? Cita
sederhanaku terkabul secara kontan. Tapi yang aku khawatirkan adalah perihal
izin dari orang tua mereka. Aku tahu, kadang mereka belum meminta izin utuk
main ke sungai. Hingga pada suatu sore, kekhawatiranku menjadi kenyataan.
Sore itu, kami baru saja pulang
setelah bermain dari sungai. Kami berjalan beriringan sambil memandangi ujung
pakaian yang basah. Menyapu pasir yang terhampar di sepanjang perjalanan
pulang. Sesekali melepas canda; menertawai hal-hal lucu yang baru saja terjadi.
Aku asyik menanggapi ocehan mereka satu per satu, hingga ada yang memanggilku
lembut.
“Kak Riris…” anak perempuan itu
memeluk lenganku dari belakang.
“Ya? Kenapa, Sayang?” aku menoleh. Putri.
Ia lantas menatapku sambil tersenyum. Manis sekali.
“Putri sayang Kak Riris…” katanya
setengah berbisik.
“Eh?” demi mendengarnya, aku jadi
salah tingkah. Lantas menjawab sambil tertawa kecil menutupi kegugupanku, “Hha
iyaa, Kak Riris juga sayaang sama Putri,” lanjutku. Ia menyimpul senyum lagi.
Aku balas tersenyum. Kami melanjutkan perjalanan pulang.
Rumah tempatku tinggal bersebelahan
dengan rumah Putri. Dengan pakaian yang basah dan kotor sehabis bermain di sungai,
aku mencoba membuka kran di halaman samping rumah yang posisinya tepat berada
di samping rumah anak delapan tahun itu. Lantas aku mulai membersihkan sandal
dan ujung-ujung pakaian yang dihiasi pasir. Hingga sayup-sayup kudengar makian seorang
perempuan muda kepada seseorang di rumah sebelah.
Kalau Kamu ada di posisiku, mungkin Kamu
akan mengerti betapa menyedihkannya keadaan itu. Pertama, Kamu mendengar makian
dari seseorang kepada anak kecil tepat di sebelahmu namun kalian berbataskan
dinding dan Kamu tidak punya kuasa apa-apa. Kedua, Kamu bahkan tidak dapat
mengerti arti kata per kata yang Kamu dengar, mengingat kemampuan berbahasa
Sunda-mu yang payah sekali. Ketiga, Kamu adalah pihak yang ikut terlibat
menjadi sebab dari diomelinya anak yang baru saja menyatakan rasa sayangnya
padamu. Semoga tidak hiperbola, tapi Kamu tahu? saat itu aku sedih sekali.
Perasaan bahagia usai main ke sungai bersama anak-anak seperti habis tidak
bersisa. Habis hingga ampas-ampasnya.
Putri dimarahi sang ibu karena ia
main ke sungai sampai sore hari tanpa izin terlebih dahulu. Meski aku tidak
mengerti bahasa Sunda seutuhnya, tapi aku tahu persis deret kalimat itu adalah
sumpah serapah. Kudapati beberapa kata kasar terlontar dibarengi dengan suara guyuran
air. Aku sama sekali tidak menyangsikan kasih sayang seorang ibu terhadap
anaknya. Sama sekali tidak. Hanya, ekspresi sayang semacam itu terlalu
menyedihkan. Lebih menyedihkan ketika menyadari bahwa aku tidak tahu apa yang
dapat kuperbuat.
Kejadian itu sampai pada telinga Ibu,
pemilik rumah tempat aku tinggal. Kuceritakan juga pada Ibu perihal
kesedihanku. Beliau lantas menghiburku dan mengatakan bahwa aku tidak perlu
sedih berlebihan karena kejadian itu. Pasalnya, hal tersebut bukan kali pertama
terjadi.
“Nggak usah sedih, Teh Riris…” ujar
Ibu yang masih tergolong saudara dekat dengan keluarga Putri, “itu mah sudah
sering Ibu bilangin dari dulu supaya jangan terlalu keras mendidik anak. Tapi
ya masih begitu juga,” lanjutnya. Menurut Ibu, beberapa kali sudah orang tua
Putri diingatkan, namun tidak ada perubahan berarti. Putri dan adiknya yang
masih kecil tidak jarang dimarahi karena hal yang sebenarnya sangat lumrah
dilakukan oleh anak-anak seusia mereka.
Meski menyedihkan, kejadian itu
memberi jawaban atas beberapa pertanyaanku perihal keadaan Putri. Jika
mengetahui keadaan keluarganya sedemikian rupa, aku tidak heran mengapa ia
tumbuh menjadi anak yang tak mudah bergabung dengan anak-anak lainnya, tidak
menangis ketika pelipisnya berdarah akibat goresan bambu, atau kerap melakukan
hal-hal aneh demi menarik perhatian seperti berdiri di tengah-tengah khalayak
ketika acara berlangsung, misalnya. Iya, anak itu –Putri- haus akan perhatian.
Dan ia tidak terbiasa ‘dimanja’ atas hal sesederhana
luka dan sedikit darah pada pelipisnya.
Bagian paling berat dari kegiatan
KKN-T adalah –apalagi jika bukan- perpisahan. Acara perpisahan kami lakukan
dengan sederhana di kantor desa, pada malam terakhir sebelum kami harus kembali
kepada rutinitas harian kampus. Penampilan drama anak-anak yang telah lama
dipersiapkan jauh melampaui ekspektasi kami. Iya, jauh lebih bagus! mereka
bahkan tetap bersemangat meski malam itu mati lampu disertai hujan deras yang
menjadikan kantor desa tidak seramai rencana awal. Meski hanya ada beberapa
orang tua yang hadir memenuhi undangan, acara perpisahan tetap jadi sangat
berkesan. Mati lampu justru menjadikan kami semaki dekat. Kami makan bersama
ditemani cahaya lilin; ditemani suara rintik-rintik hujan dari luar.
Bukan anak-anak Cibunian jika tidak
pandai memberikan kakak-kakaknya kejutan. Kami mendapat persembahan yang manis
sekali; penampilan pembacaan puisi serta menyanyikan lagu perpisahan yang
dilakukan mereka bersama-sama secara acapella.
Diam-diam aku mencari sosok Putri. Dia tidak ada di barisan anak-anak yang
tampil di depan. Ah ya, anak itu selalu punya caranya sendiri. Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali, ia menghampiriku tepat sebelum aku dan teman-teman
pamit pulang mengakhiri kegiatan KKN-T.
Aku memberikan secari kertas origami
berbentuk hati yang sudah kupersiapkan untuk masing-masing anak termasuk Putri.
Menerima pemberianku, ia terperangah.
“Buat Putri?” tanyanya.
“Iya, Buat Putri. Makasih ya sudah
jadi teman Kak Riris,” balasku tersenyum sambil setengah jongkok. Menyejajarkan
tinggi kami.
“Kak Riris…” Putri kemudian memanggilku,
lantas mendekatkan mulutnya pada telinga kananku seraya mengatakan sesuatu, “terima
kasih ya,” katanya lagi. Aku tertawa sambil megusap-usap kepalanya.
“Iyaa, sama-sama. Semangat ya Putri
belajarnya!” ia mengangguk pelan sambil tersenyum simpul.
Hei, mungkin Kamu belum tahu, tapi
aku punya banyak cita-cita. Salah satunya adalah bermain bersama anak-anak
sambil berlarian lepas dan tertawa. Dan bersama anak-anak Cibunian, kurasa
mereka lebih dari sekadar anak-anak; mereka adalah sahabat. Pada akhirnya aku
tidak sekadar mewujudkan cita-cita, melainkan memperoleh banyak sekali
pelajaran dari mereka. Tentang apa itu keberanian dan kejujuran, juga tentang
apa itu ketulusan— seperti pelajaran yang kudapat dari seorang anak perempuan
usia delapan tahun bernama Putri...
Sungai yang tidak jauh dari rumah tempat kami tinggal |
Tulisan ini dibuat beberapa bulan lalu pada penghujung 2016,
sebagai kenang-kenangan KKN-T Fema IPB.
sebagai kenang-kenangan KKN-T Fema IPB.
(nama 'Putri' hanya samaran)