Wednesday, October 9, 2019

Tulisan tentang Eyang


Hampir satu bulan Indonesia berduka atas berpulangnya sosok yang seolah tak pernah menua, yang pada dirinya laksana hidup semangat pemuda belas-dua puluh tahunan meski usia fisiknya terbilang sudah delapan puluhan.

Mengingat-ingat saat itu, barangkali adalah salah satu pekan tersendu sebab untuk pertama kalinya merasai kehilangan “public figure” masa kini yang bahkan belum pernah sekalipun bersua. Kemudian ketika membuka catatan, saya menemukan beberapa tulisan tentang beliau; Eyang Habibie.

***
September 13, 2019, 8:11 AM

"Kak," sebut saja Halya, salah satu murid yang kuajar petang itu, memohon izin memotong pembicaraanku di depan kelas.
"Ya?" aku mempersilakan. Suasana kelas masih agak ramai. Kami baru saja masuk lagi usai istirahat shalat.
"Pak Habibie meninggal," lanjutnya.

**

Kabar itu mau tidak mau cukup mendistraksi kelas kami. Masing-masing mulai membuka gawai, memeriksa informasi yang beredar. Terkecuali aku. Memang, kiranya baru saja kemarin kulihat banyak akun-akun di media sosial seolah berlomba mendoakan beliau (setidaknya itu yang tampak pada postingan-postingan mereka). Aku tahu bapak yang aku kagumi itu, yang pernah teramat ingin aku jumpai itu, tengah sakit dan dirawat beberapa waktu belakangan.

"Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun. Beneran?" aku masih belum percaya. Tak kusempatkan membuka gawai. Lebih memilih bertanya pada kelas.

"Beneran apa hoaks?" sahut yang lain.

"Beneran." Jawab Halya mantap.

**

Kenangan-kenangan tentang sesosok inspiratif itu tak bisa dicegah untuk tidak berputar di kepala. Petang itu, kami bersama-sama melangitkan doa untuk Pak Habibie. Kemudian di tengah pikiran yang mulai berlarian kesana-kemari, aku mencoba kembali mengondusifkan kelas—mengondusifkan pikiranku sendiri lebih tepatnya. Tapi yang keluar ternyata malah kalimat seperti ini.

"Kakak jadi sedih,” aku menarik napas sambil berusaha tersenyum tipis, “Bukan apa-apa sih, kakak merasa ada hubungan emosional dengan Pak Habibie," ujarku, tanpa menskenariokan untuk mengeluarkan deret kata semacam itu. Hubungan emosional? hei, siapa kamu? Mereka mendengarkan. Mungkin agak menerka, hubungan emosional seperti apa yang aku maksud.

**

Aku tahu. Jika diperhitungkan, tentu aku bukan apa-apa. Jika mengagumi seseorang adalah sebuah persaingan, barangkali aku ada di barisan nyaris paling belakang di arena tanding. Jangankan menang, barangkali aku tak masuk bahkan jadi cadangan. Maksudku, aku mungkin tak terbaca, tak dikenal, belum pula mampu mengikuti jejak-jejak beliau yang luar biasa. Tapi entah bagaimana aku merasa ada hubungan emosional dengan Pak Habibie. Dan oleh sebab kebermanfaatan beliau yang menjangkau penjuru bumi, aku yakin bukan hanya aku yang sekehilangan ini.

Yah, barangkali salah satu alasan terkuatnya adalah karena Insan Cendekia. Sebab sekolah yang teramat bersejarah dalam hidupku itu tidak lain digagas oleh beliau. Tak jarang pula kami mendengar perkataan yang kurang lebih seperti ini, "Berjuanglah! sebab kalian adalah anak ideologisnya Pak Habibie".

**

Aku tahu. Ada begitu banyak anak bangsa yang mengaku sebagai anak atau cucu ideologis beliau. Memang demikian lah laki-laki yang tak pernah menua jiwanya itu membahasakan kami, anak-anak bangsanya. Beliau mewariskan apa yang disebut-sebut sebagai amal tiada putus: ilmu. Ketulusannya dalam menyampai ilmu, barangkali menjadi alasan terkuat mengapa demikian banyak orang yang merasa punya hubungan emosional dengan beliau.

Aku pernah pada fase begitu ingin menjumpai beliau. Ingin kuucap terima kasih sampai-sampai tak tahu bagaimana cara mengucapkannya. Kucari-cari alamatnya, bermodalkan internet di ruang lab komputer sekolah. Kutanya-tanya kabarnya, pada beberapa guru yang saat itu kuterka barangkali tahu atau barangkali bisa membantu.

Hingga pada suatu hari, aku mendapati diriku menjumpai sosoknya di lantai dua MAN Insan Cendekia Serpong; sekolah yang dicetuskan olehnya 23 tahun lalu, sekaligus sekolah tempatku banyak mempelajari hidup. Ia mengenakan baju safari, tengah istirahat sejenak di ruang bimbingan konsultasi Bu Rini. Ramah sekali. Hanya itu yang aku ingat, sebab yah, sayangnya, aku menjumpai sosoknya hanya dalam mimpi.


 September 13, 2019, 8:18 AM

Rasanya seperti kehilangan satu cita-cita. Rasanya seperti dipaksa memangkas satu harap. Rasanya ingin memrotes diri sendiri, "Mengapa kamu tak berjuang lebih keras hari kemarin?" sebab belum pernah sampai kata itu keluar, bahkan meski hanya lewat tulisan. Belum tercapai cita sederhana mengucapkan terima kasih pada beliau. Belum juga berhasil mempersembahkan apapun bahkan dalam bentuk paling sederhana sekalipun. Sampai pada akhirnya kubaca deret kalimat yang kabarnya merupakan perkataan beliau pada sebuah kesempatan:

“Kalau saya ditanya, Habibie siapa, insinyur, muslim, ataukah Indonesia. Saya jawab bahwa Habibie adalah muslim. Mengapa? Karena kalau saya mati, saya tidak lagi berwarganegara. Kalau saya sampai ke akhirat, yang ditanya bukan kedudukan apalagi kewarganegaraan. Karena itu, saya jawab: saya muslim. Itu bukan emosional, melainkan rasional.”

“Saya percaya pada hari akhir. Saya tidak akan ditanya soal paspor. Jadi, kalau saya jawab demikian, jangan bilang Habibie tidak nasionalis. No..”

Perkataan beliau itulah yang kemudian membuatku sadar bahwa.. hei!, tentu saja masih bisa kulantun doa, masih bisa kuucap terima kasih, melalui-Nya.

**

Terima kasih, Eyang. Maafkan kami yang belum sampai berterima kasih padamu. Bahkan di tengah kesedihan kami, untai nasihatmu juga yang menjadi jalan pembuka harap.

Barangkali mendoakan adalah sebaik-baik cara berterima kasih. Terima kasih, Eyang. Allah, mudahkanlah hisab beliau. Ampuni dosa-dosanya. Berilah ia tempat terbaik di sisi-Mu. Sungguh aku bersaksi insyaaAllah beliau adalah orang baik, dengan kebermanfaatan yang meluas lagi semerbak. Yang tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana berilmu, tapi juga, atas izin-Mu, menjadi jalan banyak orang—salah satunya aku—"menemukan" Engkau. Terima kasih Eyang Habibie. Terima kasih atas Insan Cendekia-mu; tanah berjuta kisah yang berikan banyak sekali pelajaran untuk kami.


15 September 2019

Hari ini ketika melewati salah satu jalan di Kota Bogor, ada yang sedikit berbeda. Jejeran tiang bendera pada kanan-kiri jalan yang biasanya kosong atau paling tidak berisikan bendera-bendera negara, hari itu terisi penuh dengan bendera tanah air Indonesia. Namun ada yang berbeda. Tak sampai pada ujung tiang bendera-bendera itu berkibar, melainkan hanya setengah tiang saja.
Oh ya, rupanya masih berkabung bangsa kita.


19 September 2019

Satu pekan sudah, Pak Habibie berpulang. Dalam masa-masa kemarin, aku begitu merasa kehilangan atas kepulangan beliau. Tidak berlebihan menurutku, jika dikata bahwa kepergian sosok yang menyebut dirinya sebagai Eyang itu menyisakan banyak kehilangan pada hati-hati sesiapa yang mengenalnya. Bukan hanya mereka yang pernah bertatap, tapi bahkan yang belum pernah bersua pun—aku salah satunya—juga merasakan kehilangan.


23 September 2019

Begitulah orang baik. Bahkan kepergiannya mampu mengantarkan banyak orang pada kebaikan-kebaikan. Aku percaya bahwa ketulusan berbicara lebih banyak dari kata-kata. Bahwa ketulusan bersuara lebih lantang dan lebih nyaring dibandingkan suara itu sendiri. InsyaAllah Eyang adalah orang yang tulus berbuat baik. Purna sudah kiprah Eyang di panggung sandiwara dunia ini.
Terima kasih, Eyang. Maafkan kami.

***

Sumber

Kabarnya, generasi terdahulu banyak menerima nasihat semacam ini, “Rajin-rajinlah belajar, supaya pintar seperti Pak Habibie!”. Agaknya kearifan dari beliau di masa tuanya juga bisa menjadi inspirasi dari nasihat hebat, “Jangan pernah berhenti belajar, supaya kalau tua nanti tidak mudah lupa dan tetap bisa berkarya, seperti Pak Habibie!”

Bogor, 9 Oktober 2019
Ketika hujan yang dirindu
tiba kembali sambil merayu.